Chapter 3: Gadis dari Desa Angin
Langit fajar mulai mengusir kabut pagi ketika Yamada dan kelompoknya melanjutkan perjalanan dari reruntuhan kerajaan tua. Mereka berjalan menyusuri jalanan tanah yang membelah hutan lebat, ditemani suara dedaunan yang bergesekan dan kicauan burung asing yang belum pernah Yamada dengar sebelumnya.
"Kamu yakin kita gak nyasar, Seira?" tanya Yamada, memegang peta lusuh yang didapat dari misi sebelumnya.
Seira, dengan langkah mantap dan armor kulitnya yang ringan, menoleh santai. "Aku dibesarkan di alam liar. Aku lebih bisa baca medan daripada baca buku."
"Bukan berarti kamu bisa baca peta juga," celetuk Lira sambil mengayunkan tongkat sihirnya di udara.
Mira yang berada paling belakang, tanpa ekspresi seperti biasa, hanya menatap lurus ke depan. "Aku hafal semua rute dari dokumen rahasia milik organisasi lama. Ini arah yang benar."
Yamada mendesah lega. "Syukurlah ada Mira."
Mira melirik padanya sebentar, lalu dengan datar berkata, "Tapi kamu tetap terlihat seperti beban."
"Oi!"
Tawa kecil terdengar dari Lira dan Seira. Aneh, pikir Yamada. Di dunia asal, dia hampir gak pernah dapat perhatian dari perempuan. Sekarang, malah dikerubungi tiga cewek cantik yang… sering roasting dia. Tapi dia merasa hangat.
---
Setelah dua hari berjalan, mereka tiba di tempat tujuan: Desa Angin, desa terpencil di atas perbukitan, yang tampak tenang namun penuh energi sihir.
Desanya kecil, rumah-rumahnya terbuat dari kayu putih dengan atap jerami, dikelilingi kincir angin tinggi dan ladang bunga liar yang berayun oleh tiupan angin konstan. Namun, udara di sana terasa… gelisah. Angin bertiup terlalu kencang. Langit selalu berawan.
Mereka disambut dengan tatapan curiga para penduduk. Anak-anak bersembunyi di balik rok ibu mereka, dan para pria tua memegang tongkat seolah siap mengusir tamu asing.
Namun kepala desa—wanita tua berjubah hijau bernama Shina—mengizinkan mereka masuk setelah mendengar tujuan mereka.
"Roh angin di gunung telah murka. Angin kami tak lagi melindungi, tapi menyerang. Jika ini terus berlanjut, desa kami akan musnah oleh badai," jelas Shina dengan suara lemah tapi penuh harap. "Kami butuh petualang. Kalian… harapan terakhir kami."
Yamada mengangguk. "Kami akan bantu."
---
Perjalanan ke Kuil Langit
Perjalanan menuju kuil di puncak gunung memakan waktu dua hari lagi. Jalurnya terjal dan penuh tantangan: jembatan gantung tua yang hampir putus, jalan berbatu yang diselimuti kabut, dan kawanan serigala angin yang menyerang tanpa suara.
Di sela bahaya, ada banyak momen yang memperkuat ikatan mereka.
Suatu malam, saat beristirahat di lereng, Yamada bangun untuk buang air dan mendapati Mira duduk sendirian menatap langit.
"Kamu gak tidur?" tanya Yamada pelan.
"Aku bisa tidur dengan satu mata terbuka," jawab Mira datar. "Kebiasaan lama."
Yamada duduk di sebelahnya. "Kamu selalu waspada banget, ya…"
"Kalau tidak, aku sudah mati sejak lama," jawab Mira. Tapi lalu, dengan suara lebih lembut, ia melanjutkan, "Tapi bersama kalian… rasanya… sedikit lebih ringan."
Yamada tersenyum. "Aku juga merasa seperti punya keluarga baru."
Mira menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum kecil.
"Kalau kamu ngomong kayak gitu ke semua cewek, gak heran dapet harem."
"Eh?! Gak gitu maksudnya!"
---
Di Kuil Langit
Kuil itu berdiri di puncak tertinggi gunung. Bangunannya elegan, seolah diukir dari marmer putih dan diterpa angin abadi. Tapi suasana di sana tidak damai.
Roh angin—Aeria—telah disegel dalam kristal besar. Namun kristalnya retak, dan badai berputar-putar di sekeliling kuil. Guntur meledak, angin mengamuk.
Lira menatap kristal itu dengan mata penuh kekhawatiran. "Kalau retakan itu melebar, roh angin bisa berubah jadi iblis."
"Kita harus menstabilkan sihir di sini," seru Seira.
Mereka mulai ritual penenangan, dipandu oleh mantra kuno yang ditemukan Lira. Tapi badai makin menggila. Batu beterbangan, pohon tumbang, tanah retak.
Dalam momen kritis, Yamada mendekati kristal, dan tanpa tahu kenapa, dia menaruh tangannya di atasnya.
Kristal bersinar.
[GACHA SUKSES: Kamu mendapatkan Aeria – Roh Angin Perwujudan Alam!]
Kilatan cahaya menelan badai. Kristal pecah perlahan, dan dari dalamnya keluar gadis muda berambut putih panjang, mengenakan pakaian seperti dewi, matanya hijau bening seperti daun musim semi.
Dia jatuh ke pelukan Yamada.
"…Terima kasih… Kau menyelamatkanku," bisiknya.
Yamada menatapnya, terkejut. "Kamu… roh angin?"
Aeria mengangguk pelan. "Dan sekarang… aku milikmu."
"EHHHH?!"
---
Kembali ke Desa
Dengan Aeria bergabung, badai di desa menghilang. Langit cerah. Kincir angin berputar damai. Para penduduk menyambut mereka dengan sukacita, dan kepala desa memberikan hadiah: satu rumah kecil untuk tempat tinggal Yamada dan timnya.
Namun malam itu, sistem kembali aktif.
[Sistem Gacha – Peringatan: Aktivitas entitas tinggi terdeteksi di wilayah timur. Misi spesial tersedia. Hadiah: Wanita Legendaris – Putri Iblis Terkunci.]
Seira membaca notifikasi itu keras-keras. "Putri Iblis?"
Lira melipat tangan. "Kalau sistem mulai melempar 'legendaris', ini bukan lagi game. Ini perang."
Mira menatap Yamada. "Kalau kamu terus menyelesaikan misi ini, kamu akan jadi pusat dari semua konflik dunia."
Yamada, yang kini dikelilingi oleh empat wanita luar biasa, menatap langit malam yang mulai dipenuhi bintang.
"Aku gak tahu kenapa aku dipilih. Tapi satu hal yang pasti—aku gak akan lari."