Dalam ruangan surgawi yang diterangi cahaya abadi,
di tengah para dewi yang berlutut dengan takzim,
Levandra memberanikan diri untuk angkat bicara.
Langkahnya ringan, namun hatinya bergolak.
"Oh Dewa-ku yang agung, Rayzalian…" katanya dengan suara lembut namun memohon,
"Hamba tidak bermaksud mengatur, dan tak berniat melampaui batas penghambaan…
Namun izinkan hamba memohon dengan segenap ketulusan—
Tolonglah, jangan gunakan kekuatanmu secara berlebihan di dunia itu nanti…"
Rayzalian menoleh pelan. Tatapannya tak langsung murka,
tapi di balik sorot matanya, tampak bara yang menyala lembut.
Levandra menunduk lebih dalam, lalu melanjutkan:
"Daripada menghancurkan segalanya dengan tanganmu sendiri…
hamba mohon, kumpulkanlah para ras yang hidup di sana:
Manusia naga… manusia kucing… manusia kadal… manusia macan…
manusia srigala… bahkan bangsa iblis yang telah dikalahkan…"
Suara Levandra bergetar, tapi tidak goyah.
"…Dengan begitu, Dewa-ku akan mendapatkan hiburan yang jauh lebih banyak,
daripada sekadar melepaskan kuasa yang bisa mengguncang langit…"
Rayzalian sempat menahan napas.
Amarah kecil sempat muncul di dadanya—
tapi hilang seketika saat telinganya menangkap satu kata: hiburan.
Itulah tujuan utamanya.
Ia ingin turun ke dunia ciptaan Arlisia…
bukan untuk menaklukkan,
bukan untuk menjadi penyelamat,
tapi hanya… untuk menghibur dirinya sendiri.
Senyuman tipis terbit di bibirnya.
"Baiklah," katanya dengan nada tenang namun tak terbantahkan.
"Kalau begitu, Tirius… bereinkarnasimu akan jatuh ke ras naga.
Levandra… kau akan lahir kembali di ras srigala.
Sedangkan Aria dan Varias…"
Tatapan Rayzalian kini penuh rencana.
"…kalian akan lahir di antara keluarga pendeta besar.
Salah satu dari kalian akan menyandang gelar Gadis Suci."
Keputusan telah dibuat.
Dan dunia bawah akan segera menyambut entitas yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
---
(Musik berubah perlahan menjadi malam sunyi penuh angin laut)
> Di ujung selatan benua Klibertivan,
berdiri sebuah kerajaan kepulauan kecil bernama Slivinia.
Di tengah malam yang sepi,
sepasang suami istri berdiri di balkon istana, menatap bintang yang redup.
Sang suami, Raja Bridian, dan istrinya yang sedang mengandung, Ratu Fitrisia,
tampak diliputi kegelisahan.
Bridian menggenggam tangan istrinya erat.
"Perang itu… semakin dekat," katanya lirih.
"Aku takut… bukan pada takdirku,
tapi pada nasib rakyatku… dan anak yang kau kandung itu."
Tak ingin berdiam diri dalam kecemasan,
keesokan paginya Bridian memutuskan untuk berdoa.
Ia naik kereta kuda yang dijaga delapan kesatria gagah,
kuda-kuda putih mereka membawa lambang matahari tergantung di dada.
Dalam diam, rakyat memberi hormat saat kereta berlalu.
Lima belas menit kemudian, mereka tiba di Gereja Agung Slivinia.
Sang uskup agung, Aberto Savira, menyambutnya dan membawanya ke altar doa.
Di sana, berdiri patung megah Dewi Arlisia.
Bridian berlutut, mengepalkan tangan di depan dadanya, dan memejamkan mata.
Sunyi.
Lalu… cahaya putih menyorot tubuh Bridian dari langit gereja.
Uskup Aberto tertegun.
Dan tak hanya dia—cahaya itu tampak dari setiap sudut Slivinia,
hingga seluruh rakyat mendongak dengan mata terbelalak.
Dan suara itu pun terdengar.
Suara Dewi Arlisia, menggema, kuat, namun dipenuhi kasih.
"Oh Bridian, hamba-Ku yang paling taat…
Aku tahu isi hatimu bahkan sebelum kau mengucapkannya.
Aku selalu berusaha menjaga kedamaian dunia ini…
tapi kekuatan-Ku terbatas.
Maka Aku telah meminta bantuan…
kepada Dewa paling agung dari segala dewa."
Seluruh Slivinia terdiam dalam haru.
"Rayzalian, Dewa itu… telah setuju untuk turun ke dunia.
Dan Ia akan melakukannya dalam bentuk reinkarnasi.
Ia akan lahir dari rahim istrimu, Fitrisia…
kurang dari sepuluh hari dari sekarang."
Tangis haru meledak di seluruh penjuru kerajaan.
"Rawatlah dia, Bridian.
Berikan kasih sayang sebagai seorang ayah.
Karena saat ia berusia empat belas tahun,
ia akan mulai mencari sahabat seperjuangan…
dan menyelamatkan dunia ini dari kehancuran."
Suara Arlisia menghilang perlahan,
namun gema keberkahannya masih terasa.
Seluruh rakyat bersorak,
menyambut kabar bahwa calon pangeran mereka
adalah reinkarnasi dari dewa yang diagungkan oleh sang Dewi sendiri.
Hari itu, harapan menyelimuti langit Slivinia.
Dan tak satu pun menyadari—
bahwa dunia baru saja membuka lembaran takdirnya
kepada kisah yang jauh lebih besar dari apa pun yang pernah mereka bayangkan.