Arlisia, dewi pencipta salah satu dunia yang berada di bawah kuasanya,
melangkah masuk dengan wajah penuh duka.
Ia bersujud dengan penuh hormat, menyembunyikan kegundahan dalam hatinya.
> "Oh dewaku Rayzalian…"
bisik arlisia lirih namun menusuk.
> "…tolong bantulah hambamu ini.
Hamba tak mampu lagi mengendalikan dunia yang telah hamba ciptakan.
Dunia itu… telah tenggelam dalam kekerasan.
Air mata, jeritan, dan kebencian membanjiri tanahnya…"
Arlisia menunduk semakin dalam,
suaranya mulai bergetar.
> "…hamba mohon… singkirkanlah kebrutalan yang merajalela di duniaku saat ini…"
Mendengar permohonan itu.
Rayzalian mengangkat kepalanya perlahan.
Tatapan matanya menyala lembut namun tak ada yang dapat menduga apa maksud dari senyumannya,
dan tiba-tiba… rayzalian tertawa.
Tawa agung yang bergema di seluruh ranah surgawi,
hingga para dewa-dewi di kejauhan ikut terdiam.
Tak lama, rayzalian berkata.
> "Kalau begitu…
Aku akan turun ke dunia itu sendiri."
Suara itu mengguncang langit suci —
tak hanya didengar oleh Arlisia,
tapi juga oleh seluruh penghuni ranah para dewa dewi.
Disisi lain,
Arlisia mendongak dengan wajah cemas.
Bukan karena ia ragu pada kekuatan Rayzalian…
melainkan karena arlisia tahu —
bahwa dunia itu mungkin tak sanggup menahan satu langkah pun dari sang dewa agung.
> "Rayzalian…" kata arlisia pelan,
"…aku cemas.
Dunia itu… mungkin akan musnah hanya karena keagunganmu."
Mendengar perkataan itu,
Rayzalian tersenyum simpul,
lalu menjawab dengan suara yang mengalir tenang,
namun menyimpan kekuatan yang sanggup membelah bintang:
> "Tenang saja.
Aku akan turun hanya dengan seperempat kekuatanku.
Dunia ciptaanmu… hanya bisa menampung itu."
Arlisia menghela napas lega.
Namun sebelum ia sempat mengucap syukur,
Rayzalian menambahkan dengan nada yang lebih berat:
> "Tapi, Arlisia…
Aku ingin satu hal darimu.
Apapun yang kulakukan di dunia itu,
jangan pernah kau hentikan.
Bahkan jika aku harus menghancurkan sepertiga daratannya…
jangan ganggu urusanku."
Arlisia terdiam, lalu menunduk dalam-dalam.
Ia tahu — makhluk ciptaannya memang keras kepala.
Bahkan mungkin, lima raja keturunan dari raja-raja bodoh itu akan menentangnya.
Maka ia menjawab:
> "Baik… aku mengerti."
Namun Arlisia masih menyimpan satu kekhawatiran.
> "…Tapi… jangan turun sendirian."
Rayzalian menoleh.
Alisnya sedikit mengerut, namun tak berkata apa-apa.
Arlisia melanjutkan:
> "Turunlah dengan seorang pendamping.
Atau lebih.
Dunia itu… bisa berubah tak terduga.
Tak peduli seberapa kuat dirimu,
semangat dan kekuatanmu… bisa jadi pedang bermata dua."
Rayzalian ingin membantah.
Namun ia tahu Arlisia tidak sepenuhnya salah.
Maka, ia bangkit dari takhtanya,
dan dengan suara mengguncang langit, ia berseru:
> "Datanglah padaku… Aria! Varias! Tirius! Levandra!"
Empat cahaya menyala dan melesat ke hadapannya.
Aria dan Varias — dewi tingkat menengah,
Tirius dan Levandra — dewi tingkat tinggi,
semuanya berlutut di hadapan dewa agung.
Rayzalian menjelaskan keadaan yang akan dihadapi.
Dan setelah mendengar semuanya,
Tirius dan Levandra saling menatap —
bukan karena takut,
melainkan karena mereka tahu sesuatu yang jauh lebih mengkhawatirkan:
> "Rayzalian mungkin akan terlalu menikmati dunia itu…"
Mereka tahu…
jika semangat bersenang-senang sang dewa bangkit,
maka tak satu pun yang bisa menahannya.
Bahkan dunia itu sendiri.