Chapter 3 — Shardfather's Whisper
Mimpi itu datang lagi.
Ziza berdiri di tengah lautan cermin yang pecah. Setiap pecahan memantulkan wajahnya—tapi bukan wajah yang ia kenal. Ada versi dirinya yang tertawa gila, ada yang menangis, ada yang terbakar, ada yang tenggelam dalam darah. Dan di tengah semuanya, berdiri sosok berjubah hitam, wajahnya tersembunyi di balik bayangan, suaranya terdengar dari segala arah.
"Kau melihat dirimu, Ziza. Semua kemungkinan. Semua kematian. Semua kebangkitan."
Ziza mengepalkan tangan. "Apa kau yang memberiku kekuatan ini?"
"Bukan memberimu," sahut suara itu. "Kau yang memanggilnya. Saat dunia menolakmu. Saat sistem membuangmu. Kau memanggilku, dan aku menjawab."
"Kenapa aku?"
"Karena kau... adalah keretakan. Kau adalah awal akhir."
Ziza terbangun dengan tubuh berkeringat dingin. Udara dalam kuil tua itu pekat oleh kelembaban dan energi glitch. Di sekelilingnya, lima undead duduk bersila, seperti biksu meditasi, menunggu perintah. Ia tahu mereka tidak butuh istirahat. Tapi Ziza butuh. Karena setiap kali ia menggunakan kekuatan, pikirannya semakin jauh dari batas kewarasan.
---
Di dunia luar, para Hunter mulai bergerak.
Di wilayah Eurasia, seorang Hunter Rank S bernama Kazim Vohl—dijuluki Steelbreaker—menerima kontrak pencarian Ziza. Kazim bukan sembarang pemburu; ia adalah survivor generasi pertama Riftfall dan kini menjadi eksekutor yang ditakuti. Dengan tubuh setinggi dua meter, lengan besi, dan kemampuan Seismic Pulse, ia bisa menghancurkan kota kecil hanya dengan sekali hentakan kaki.
"Kalau bocah itu memang glitch seperti yang mereka bilang," gumam Kazim di markasnya, "maka dia lebih dari sekadar ancaman. Dia adalah virus. Dan virus harus dibasmi."
---
Kembali di Jepang, Ziza mulai bereksperimen. Ia sadar bahwa kemampuannya lebih dari sekadar membangkitkan mayat. Ia bisa merekayasa ulang mereka. Menyusun ulang bentuk. Memasukkan kemampuan baru.
Dengan fokus, ia menyentuh mayat seekor Nullspawn yang ia bangkitkan.
"Split form. Rewire. Inject protocol."
Makhluk itu mulai berubah. Cakar bertambah. Mata menjadi enam. Suara glitched terdengar dari tubuhnya. Ziza tersenyum lelah. "Aku bisa menciptakan sesuatu yang lebih... bukan cuma menyalin."
---
Malam itu, ia duduk di depan altar tua dan mengangkat tangan kirinya. Glitch-nya bersinar. Dan suara itu datang lagi, lebih lembut.
"Kau tahu, Ascension bukan milik mereka. Mereka hanya mencurinya dari kami."
"'Kami'?" tanya Ziza.
"Para dewa sebelum sistem. Sebelum jaringan. Sebelum struktur. Aku adalah Shardfather, dewa yang terfragmentasi. Dan kau adalah wadah pecahan terakhirku."
"Apa artinya itu?"
"Artinya, jika kau naik... aku akan bangkit bersamamu."
Ziza terdiam. Ia tahu ia telah menjadi sesuatu yang berbeda. Tapi ia belum tahu seberapa jauh "berbeda" itu akan membawanya.
---
Tiga hari kemudian, sebuah lubang rift terbuka di langit Shinjuku—terlalu dekat dari kuil tempat persembunyian Ziza. Dari dalamnya turun makhluk berwarna merah gelap, tinggi empat meter, bertanduk, dan mengaum dengan suara yang membuat gendang telinga bergetar.
"Mutasi Rift kelas S," bisik Ziza. "Kenapa mereka muncul lagi?"
Tapi makhluk itu bukan mencari mangsa sembarangan. Ia mencari dia.
"Ziza..." suara makhluk itu menggeram. "Shardfather mengkhianati kami. Kau adalah produk pengkhianatan. Aku datang untuk menghapusmu."
Ziza berdiri perlahan, mata kirinya bersinar, dan jubahnya bergoyang oleh angin kutukan.
"Coba saja," sahutnya pelan.
Dan medan perang pun tercipta kembali, kali ini dengan saksi langit yang retak dan bintang-bintang yang ikut bergetar.