Beberapa hari kemudian, Fahrul dan timnya sudah mulai mempersiapkan dekorasi. Mereka membeli bahan-bahan, memotong kertas, mengecat papan, dan mencoba menata layout panggung di lokasi. Semuanya terlihat berjalan lancar… sampai tiba-tiba masalah muncul.
"Nina, ini warnanya salah!" seru Bayu sambil memegang kain backdrop. "Harusnya biru langit, bukan biru dongker!"
Nina mengernyit. "Hah? Tapi waktu aku cek di catatan Fahrul, tulisannya cuma 'biru'. Aku kira biru dongker!"
Semua mata langsung menoleh ke Fahrul yang berdiri di pojok sambil memegang catatan kecilnya. Wajah Fahrul memerah.
"Aduh… iya, salahku. Aku nggak tulis detail warnanya," katanya pelan.
Situasi mulai memanas. Tiara menghela napas panjang. "Oke, nggak apa-apa. Kita cari solusinya bareng-bareng. Rul, coba kamu cek, masih sempat nggak tukar kainnya di toko?"
Fahrul mengangguk cepat. "Aku coba hubungi toko sekarang."
Dalam perjalanan ke toko, Fahrul merasa deg-degan. Di dalam hati dia menegur dirinya sendiri: Kenapa aku nggak lebih teliti? Kenapa aku nggak cek ulang? Tapi di sisi lain, dia juga sadar: ini semua bagian dari belajar.
Sesampainya di toko, untungnya pemilik toko masih mau menukar kainnya meskipun harus tambah sedikit biaya. Fahrul membayar dengan uang panitia, lalu buru-buru kembali ke lokasi.
Setibanya di sana, teman-temannya sudah menata ulang hiasan yang lain. Saat Fahrul menyerahkan kain baru itu, semua langsung bersorak pelan.
"Good job, Rul! Masih sempat," kata Bayu sambil mengacungkan jempol.
Fahrul tersenyum lega. Meski sempat salah, dia berhasil memperbaikinya. Dan dari kejadian itu, dia belajar satu hal penting: jadi pemimpin bukan soal selalu benar, tapi soal mau bertanggung jawab saat salah.