Setelah pertarungan sengit melawan Drakonix, tubuh Rion masih bergetar ringan. Bukan karena ketakutan, tapi karena adrenalin dan kekuatan yang baru ia rasakan membakar dalam dirinya.
"Selamat, Anda memperoleh skill baru," suara sistem kembali bergema di dalam pikirannya.
Rion membuka statusnya. Matanya menyipit, memperhatikan informasi yang muncul di layar transparan yang mengambang di hadapannya.
Nama: Rion Aethoria
Usia: 12 tahun
Ras: Manusia
Level: 99
Sihir: Es (Infinity)
Skill: Sihir Kegelapan, Aura Keputusan
"Hahahaha... Ini semakin menarik," gumamnya. Tapi matanya menatap tajam ke dua baris terakhir. "Tapi kenapa mana dan peranku tak terlihat?"
Ia mengangkat bahu. "Ah, itu nggak penting. Yang penting, aku masih hidup... dan jadi lebih kuat."
Ia menoleh ke belakang, ke arah pintu keluar dari Level 70 yang kini terbuka perlahan. Namun, di sudut tergelap ruangan, di balik reruntuhan batu, sepasang mata merah menyala.
Mata itu memperhatikan Rion. Mengamati.
Tanpa menyadari pengawasan itu, Rion berkata, "Tadi itu cukup menegangkan. Kukira gw bakal mati di sini."
Ia melangkah ke depan. Suasana sunyi, hanya suara langkahnya yang bergema pelan.
"Oke... Saatnya lanjut ke level 71," katanya sambil menyeringai.
Di kedalaman level 80, udara bergetar. Dari balik kabut hitam, seekor makhluk bertubuh mengerikan menyatu dengan bayangan. Tubuhnya sebesar bangunan, bersisik keras, dan memiliki sayap lebar seperti kelelawar namun dengan leher panjang melingkar bak ular.
"Wah wah... Sepertinya ada manusia menarik yang sedang naik ke sini," katanya. Suaranya dalam dan bergaung, penuh kegembiraan sadis. "Kemarilah... Cepatlah... Lawan aku."
Sementara itu, Rion telah menembus level 71 hingga 80. Tapi yang ia hadapi di antaranya tidaklah mengesankan. Monster-monster di setiap level semakin melemah. Mereka bukan tandingan bagi sihir esnya.
"Kenapa makin ke atas malah makin lemah? Bukannya harus makin kuat?" gumamnya dengan rasa frustrasi. "Apa ini jebakan?"
Tapi ia tak berhenti. Dan begitu memasuki level 80, hawa membunuh langsung menyambutnya.
Rion berhenti sejenak. Matanya menyipit. Udara di sekeliling terasa berat. Energi gelap menyelimuti ruangan luas seperti kabut tebal.
"Hahaha... Sepertinya dugaanku benar," katanya. "Musuh kuat selalu muncul di kelipatan 10. Itu berarti... level 90 dan 100 pasti lebih menarik lagi."
Tiba-tiba—
SRRGGGG!
Sebuah sabetan hitam menyayat udara, nyaris mengenai leher Rion. Ia melompat ke belakang, menghindar dengan presisi tipis.
"Huff... Hampir aja," katanya dengan napas sedikit terengah.
Dari kegelapan, cahaya merah menyala, membentuk dua mata besar. Lalu perlahan, makhluk itu muncul sepenuhnya.
Ia seperti gabungan burung raksasa dengan ular. Sayap hitam legam membentang, leher panjangnya melilit, dan paruh tajamnya tampak seperti bisa membelah batu. Tubuhnya dilapisi sisik perak yang memantulkan aura kematian.
"Ini baru lawan yang sempurna untukku," kata monster itu sambil tertawa lirih.
Rion mengangkat alis. "Siapa lo?"
"Namaku Zareth, salah satu panglima tertinggi Raja Iblis." Suaranya dalam, serak, namun penuh keangkuhan. "Dan kau, manusia... siapa namamu?"
"Rion. Orang biasa yang ingin melihat dunia luar."
Zareth tertawa. "Orang biasa? Yang membunuh Drakonix? Jangan merendahkan dirimu, manusia. Tapi cukup bicara. Bertarunglah!"
Rion mengangguk. Tatapannya berubah dingin. "Baiklah. Aku memang datang untuk itu."
Dan pertarungan pun dimulai.
Zareth mengeluarkan ledakan energi hitam dari mulutnya. Rion membentuk dinding es untuk menahan, tapi serangan itu menghancurkan pertahanannya dan melemparkannya ke dinding batu.
BUK!
Rion terbatuk. Darah mengalir dari bibirnya.
"Kau terlalu lambat," ejek Zareth sambil melesat cepat. Sayapnya memotong udara, menghantam Rion dengan kekuatan brutal. Rion menghindar di detik terakhir dan membalas dengan gelombang es.
"Frost Wave!"
Gelombang es menghantam Zareth, membuat sebagian sisiknya membeku. Tapi monster itu tertawa dan memecahkannya dengan ledakan sihir kegelapan.
"Kau pikir itu cukup?"
Zareth memanggil ribuan tombak bayangan dari langit-langit ruangan. Mereka meluncur seperti hujan kematian. Rion menciptakan penghalang es di sekelilingnya, tapi tak semua tombak dapat ia tangkis.
Satu di antaranya menembus bahunya.
"ARGH!" Rion berteriak, berlutut. Darah menetes di tanah. Napasnya mulai berat.
"Sudah cukup, manusia. Mati sajalah," Zareth melayang di udara, menyiapkan serangan.
Tapi tepat saat itulah... sesuatu di dalam diri Rion bergetar.
Kilatan biru menyelimuti tubuhnya. Suhu ruangan anjlok drastis. Uap dingin muncul dari tanah. Bahkan Zareth merasakan hawa aneh.
"Apa... ini?"
Suara sistem muncul:
"Selamat. Anda telah membangkitkan kekuatan sejati dari elemen Es: Infinity Frost Awakening."
Tubuh Rion diselimuti aura biru pekat. Matanya membara dengan cahaya biru yang menusuk. Es mengalir dari telapak tangannya seperti air, tapi memancarkan kekuatan yang tak terbendung.
"Kita lanjut," bisiknya pelan. Suaranya dingin. Dingin seperti kematian.
Rion melesat. Gerakannya tak terbaca. Dalam sekejap dia sudah berada di depan Zareth dan menghantamnya dengan tangan yang berselimut es abadi.
"Glacial Fist!"
Zareth terpental menabrak dinding dan menjerit. Sayapnya retak. Darah hitam menetes dari mulutnya.
"Tidak... tidak mungkin! Ini... sihir dewa!?"
Rion tak menjawab. Ia mengangkat kedua tangannya. Dua lingkaran sihir terbentuk.
"Frost Annihilation!"
Dari langit-langit, puluhan tombak es raksasa turun, menghujam tubuh Zareth. Suaranya mengerikan, jeritan bercampur retakan tulang dan es pecah bersamaan.
Zareth jatuh, tubuhnya setengah membeku, setengah hancur.
"Kau... bukan manusia biasa... Kau... adalah—"
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Rion mengarahkan tangan terakhirnya. Suara sihir terdengar terakhir kalinya:
"Absolute Zero."
Tubuh Zareth membeku sepenuhnya. Dalam sekejap, ia menjadi patung es raksasa.
Rion mendekat. Menatap makhluk yang membunuh puluhan pejuang di masa lalu, yang kini tak lebih dari es rapuh.
Dengan satu ayunan tangan, patung itu retak.
Lalu hancur menjadi debu.
"Selamat. Anda memperoleh skill baru: Ice Dominion dan Passive: Heart of Frost."
Rion berdiri di tengah ruangan, napasnya tenang, matanya bersinar dingin.
"Semakin kuat... Tapi kenapa rasanya masih belum cukup?"
Ia menatap ke atas. Ke langit-langit dungeon yang tak terlihat batasnya.
"Masih ada dua puluh level tersisa. Dan aku... akan menguasai semuanya."
Bayangan kabut perlahan menyelimuti tubuhnya saat ia melangkah menuju gerbang menuju level 81.
Dan di kejauhan, suara lain mulai terdengar...
"Akhirnya... ia telah bangkit."
—Bersambung—