Langit di utara memerah saat matahari mulai terbenam, memberikan semburat cahaya keemasan di balik puncak Gunung Angket. Angin dingin mengalir menuruni lereng, membawa aroma hutan pinus yang lebat dan bebatuan tua yang berlumut. Edwin berdiri di tepi jurang curam, memandangi lembah luas yang akan menjadi tempat tinggalnya untuk waktu yang tak terbatas.
Dua hari telah berlalu sejak ia meninggalkan istana. Tanpa pengawal, tanpa kemewahan, hanya ditemani oleh seekor burung elang hitam yang hinggap di bahunya—makhluk spiritual bernama Vaelis, hasil kontraknya semasa pelatihan rahasia beberapa tahun lalu.
"Apakah kamu yakin ini tempatnya?" tanya Vaelis dalam bahasa roh, suara yang menggema langsung ke dalam pikirannya.
"Ya," jawab Edwin lirih. "Gunung ini memiliki aliran energi spiritual yang liar namun murni. Tempat terbaik untuk memurnikan tubuh dan pikiran."
Mereka tiba di sebuah gua tersembunyi di balik air terjun kristal yang tinggi. Airnya memantulkan sinar bulan yang mulai muncul di ufuk timur, menciptakan ilusi cahaya menari di bebatuan. Gua itu tak terlalu luas, tapi cukup nyaman. Edwin menyapu lantai batu dengan sedikit energi spiritualnya, mengaktifkan segel pelindung yang telah ia tanam bertahun lalu, ketika dia diam-diam memetakan gunung ini selama masa latihannya.
Dia duduk bersila di tengah gua, menarik napas panjang dan mulai memusatkan energinya. Energi spiritual di sekelilingnya segera menyatu, membentuk pusaran lembut. Dia tidak mempraktikkan teknik sembarangan—yang dia gunakan adalah Teknik Langit Hening, warisan dari Faksi Kuno Varneth, yang telah punah dan hanya diketahui segelintir orang di dunia Arkos.
Setelah beberapa saat meditasi, pikirannya mulai menyatu dengan alam sekitarnya. Ia bisa merasakan percikan energi dari makhluk-makhluk yang tersembunyi di balik kabut hutan. Beberapa di antaranya jinak, tapi ada pula yang haus kekuasaan spiritual dan suka memburu manusia. Edwin tahu, masa pengasingan ini bukan sekadar latihan—ia adalah awal dari ujian sejatinya.
Sementara itu, jauh di selatan, di dalam istana Kekaisaran Aurathar, permaisuri Kasia duduk termenung di balkon menara timur. Tangannya memegang secarik surat yang ditinggalkan Edwin, isinya penuh kata-kata bijak dan permohonan untuk tidak dikhawatirkan. Namun, sebagai seorang ibu, hatinya tak mudah diyakinkan.
"Tuan muda... tidak bisakah kau hidup seperti pangeran lainnya?" gumamnya lirih. Di belakangnya, Lina berdiri diam, mengenakan pakaian baru sebagai kepala pelayan istana—jubah biru langit dengan motif phoenix putih, tanda kepercayaan tertinggi dari keluarga kekaisaran.
"Baginda masih kuat," kata Lina akhirnya, mencoba menghibur. "Dan pasukan elit Pangeran Kedua kini telah menyatu dengan penjaga istana. Bahkan Komandan Arga mengakui kehebatan mereka."
Ratu Kasia hanya mengangguk pelan. "Anak itu... selalu berjalan di jalannya sendiri. Sama seperti ayahnya dulu."
Di Gunung Angket, malam datang dengan cepat. Edwin menyalakan api kecil dan membuka gulungan bambu tua. Itu adalah Peta Energi Tersembunyi—artefak kuno yang menunjukkan titik-titik konsentrasi energi di Arkos. Ia telah menandai lokasi baru yang menarik perhatiannya: Danau Nyx, yang terletak di tengah lembah di sisi lain gunung.
Menurut legenda, danau itu adalah tempat munculnya Roh Naga Air, makhluk spiritual tingkat tinggi yang bisa mengendalikan hujan dan musim. Tak ada yang pernah melihatnya selama ratusan tahun, namun aura yang memancar dari danau itu tidak pernah padam. Edwin memutuskan, besok pagi ia akan menuju ke sana.
Malam itu, dalam tidurnya yang tenang, Edwin bermimpi tentang masa kecilnya. Ia melihat dirinya berlari bersama Tessa dan Arga di taman istana, tertawa tanpa beban. Tapi di balik tawa itu, ada bayangan—bayangan darah dan perang, bayangan istana yang runtuh terbakar, dan suara-suara menjerit meminta tolong.
Ia terbangun dengan keringat dingin.
"Vaelis… mimpi itu muncul lagi."
"Itu bukan sekadar mimpi," jawab burung elang. "Itu adalah visi dari kemungkinan masa depan. Alam memberimu peringatan."
Edwin menatap ke arah timur, ke arah kekaisaran yang kini jauh di balik pegunungan. "Aku hanya ingin hidup damai, tapi dunia tidak membiarkan siapa pun beristirahat terlalu lama."
Pagi harinya, Edwin mulai perjalanan menuju Danau Nyx. Ia berjalan menyusuri jalur kecil yang tersembunyi di balik semak belukar, melompati akar pohon raksasa, dan menuruni tebing curam menggunakan teknik ringan tubuh Langkah Bayangan Angin—sebuah jurus yang mengandalkan pengendalian napas dan tekanan energi di telapak kaki untuk melayang ringan seperti daun jatuh.
Di tengah perjalanan, ia merasakan kehadiran makhluk spiritual lain. Dari balik kabut muncul seekor Serigala Kabut Perak, binatang spiritual tingkat menengah dengan bulu seperti kabut dan mata seperti batu permata. Makhluk itu menatap Edwin dalam diam.
Namun, bukannya menyerang, serigala itu menunduk—sebuah tanda pengakuan.
Edwin terkejut. Biasanya makhluk seperti ini sangat teritorial. Tapi mungkin aura dari Vaelis, atau kekuatan dalam dirinya sendiri, telah mencapai titik di mana makhluk spiritual mulai melihatnya sebagai bagian dari alam, bukan pengganggu.
Ia mengelus kepala serigala itu dan berbisik, "Kamu bisa jadi teman yang baik di tempat sepi seperti ini."
Sesampainya di tepi Danau Nyx, Edwin terpana. Air danau berkilauan seperti kristal biru, dan di tengahnya berdiri sebuah batu besar dengan ukiran naga yang begitu hidup seolah hendak menyembur keluar. Angin berputar pelan di atas danau, membentuk pusaran spiral kecil di udara—pusaran yang mengandung energi murni luar biasa.
"Aku bisa merasakan kekuatan langka dari sini," gumamnya.
Vaelis mengepakkan sayapnya. "Tempat ini... bisa jadi kunci untuk menembus batas kultivasi manusia biasa."
Edwin menarik napas dalam. Masa pengasingannya baru dimulai, tapi dunia sudah mulai membuka rahasia-rahasia lamanya padanya. Ia tahu, waktunya kelak akan tiba untuk kembali. Tapi untuk sekarang...
Dia duduk bersila di tepi danau, dan mulai bermeditasi lagi.