Cherreads

Chapter 1 - 1 Introduction

Di sebuah markas yang tersembunyi di bawah jalan layang tua, suara detak jam dinding berpacu dengan deru mesin motor yang masih hangat. Lampu temaram menerangi ruangan dengan nuansa industrial yang keras dinding bata merah, bendera geng tergantung tinggi, dan logo besar Asphalt Reapers terpampang di tengah ruangan.

Di sanalah dia berdiri. Maximilian Devereaux.

Usianya 20 tahun, tapi sudah jadi legenda di jalanan. Dengan wajah tampan yang seperti keluar dari sampul majalah—rahang tegas, alis tajam, dan mata abu-abu dingin yang memancarkan ketenangan mematikan. Rambutnya hitam gelap, jatuh sedikit ke dahi, dan jaket kulit hitam khasnya selalu terbuka, memperlihatkan kaos gelap dan kalung perak dengan gantungan peluru kecil.

Malam itu, di hadapannya berdiri anggota inti geng: Cruz, Fallon, Nate, Jiro, dan Lex. Mereka mengelilingi meja kayu dengan peta kota dan foto-foto lawan mereka: Crimson Hounds, geng motor rival yang baru saja menantang mereka.

"Mereka pikir bisa bawa tantangan balapan ke wilayah kita dan keluar hidup-hidup?" Max mengangkat sebelah alis, suaranya tenang tapi mengandung bara. "Gue akan pastikan malam ini... ban mereka cium aspal."

Cruz menyengir. "Jalur balapan mereka pilih yang gila, Max. Tikungan sempit, jembatan tua, dan terowongan gelap."

Max hanya melirik. "Sempurna."

Fallon menimpali, "Hadiah taruhan mereka bukan cuma duit. Mereka taruhan... markas selatan."

Semua mata menatap Max. Ia hanya mengangguk ringan, lalu melangkah menuju motornya—Valkyrie, motor hitam doff miliknya dengan lampu LED tajam dan suara mesin seperti auman singa malam.

"Kalau mereka mau main gila, kita kasih lebih dari itu. Malam ini, bukan soal menang. Tapi soal siapa yang masih berdiri di garis akhir."

Ia menatap anggota satu per satu.

"Asphalt Reapers nggak pernah kalah. Dan akan mulai malam ini."

Mesin motor menyala. Raungannya menggema di markas. Para anggota pun bersiap.

Malam ini... aspal akan terbakar. Dan Maximilian Devereaux siap menunjukkan siapa yang sebenarnya menguasai jalanan.

_________________

character description

Maximilian Devereaux, sang pemimpin karismatik geng motor Asphalt Reapers

Anak dari keluarga Devereaux, bangsawan kaya lama yang jatuh miskin karena pengkhianatan bisnis.

Ibunya meninggal karena ulah pesaing sang ayah. Ayahnya menghilang setelah malam kebangkrutan itu—meninggalkan Max sendirian.

Sejak usia 15, Max hidup di jalanan, membangun reputasi sendiri, lalu mendirikan Asphalt Reapers dari nol.

Tidak diwarisi. Kekayaannya sekarang dibangun dari jalur balapan ilegal, modifikasi motor elit, dan taruhan jalanan.

Diam-diam, Max juga berinvestasi di bidang teknologi dan otomotif melalui identitas bayangan.

Brilian dan taktis. Punya insting jalanan yang sangat tajam.

Meski drop out dari universitas elite, ia belajar sendiri soal strategi, teknik mesin, dan psikologi manusia.

Pemimpin alami, setiap langkahnya terukur dan tak bisa ditebak

Silent storm. Tidak banyak bicara, tapi satu kalimatnya bisa menggetarkan seluruh ruangan.

Dihormati, ditakuti, dan dikagumi. Tak ada yang bisa memalsukan aura seorang raja, dan Max memilikinya.

Phantom King — karena gaya balapnya yang nyaris tak terlihat sampai garis akhir, dan reputasinya yang menakutkan di jalanan.

Cruz French Valerio – The Machinist

Mekanik jenius & ahli modifikasi motor

Berusia 21 tahun

Dengan penampilan Kulit tanned, rahang kokoh, senyum nakal, rambut coklat messy dengan bekas oli di pipi. Tato tribal di lengan kirinya.

Tubuh yang Atletis—ototnya terbentuk dari kerja bengkel, bukan gym

Keluarga Anak montir jalanan legendaris, tapi ditinggalkan ayahnya saat kecil.

Kekayaan Tidak sekaya anggota lain, tapi punya bengkel rahasia dengan teknologi canggih.

Kepintarannya Jenius teknis. Bisa rakit mesin dari nol.

Kombinasi bad boy mechanic dan sahabat yang bisa diandalkan. Paling humoris di antara anggota lain.

---

Fallon Reyes – The Shadowmind

Navigator, ahli rute, dan taktik jalanan

Berusia 20 tahun

Penampilan Wajahnya dingin bak model runway, kulit pucat, rambut silver pendek, dan mata biru kelam yang seolah membaca pikiran.

Tubuh Ramping tapi sangat gesit. Seperti bayangan di malam hari.

Keluarganya Keturunan campuran Jepang dan Spanyol. Ibunya eks-pembalap profesional yang menghilang secara misterius.

Kekayaan Tinggal sendiri dengan warisan cukup besar.

Kepintarannya Strategi dan taktik balapan jalanan, punya ingatan fotografis.

Aura misterius dan memikat. Paling sulit ditebak—membuat orang penasaran.

---

Nate Vilaze Armstrong – The Firestarter

Pembalap utama & eksekutor jalur gila

Berusia 22 tahun

Penampilan Kulit coklat keemasan, tubuh kekar, rambut undercut, tatapan tajam. Memiliki luka kecil di pelipis—bekas duel brutal.

Tubuh yang Atletis tingkat tinggi. Gym freak dan doyan kecepatan.

Keluarga Putra pengusaha kaya di industri otomotif, tapi keluar dari rumah karena konflik.

Kekayaan Sangat kaya, tapi lebih suka hidup di jalanan.

Kepintaran Meski tampak nekat, ia menghitung risiko secara matematis saat balapan.

Agresif, penuh adrenalin, dan magnet untuk penggemar gaya brutal dan menantang.

---

Jiro Zero Nakamura – The Code Phantom

Hacker, pengintai, dan penyabot sistem lawan

Berusia 19 tahun

Penampilan Oriental look, rambut hitam panjang dikuncir rendah, mata tajam seperti elang, selalu dengan hoodie dan headphone.

Tubuh Tinggi-slim, tidak terlalu kekar tapi sangat lincah.

Keluarga Anak diplomat Jepang yang lebih suka dunia bawah tanah.

Kekayaan Sangat kaya, namun menyembunyikannya total.

Kepintaran IQ 160. Ahli IT, kode, dan drone surveillance.

Kalem, dingin, dan sangat menawan bagi mereka yang suka cowok "otak encer tapi misterius."

---

Lex Viper Moretti – The Charmer

Negosiator, intimidator, dan intel sosial

Usia 23 tahun

Tampan bak bintang film Italia, dengan rambut slick back, rahang tajam, dan senyum menawan tapi menakutkan.

Atletis proporsional, selalu terlihat rapi dan elegan

Keluarga mafia lama, kini jadi pengusaha legal—tapi masih main di wilayah abu-abu.

Sangat kaya, punya koneksi ke klub malam dan bisnis gelap

Manipulatif, diplomatis, dan sangat tajam membaca orang

Penuh pesona, aura berbahaya, dan punya kemampuan membalikkan situasi lewat kata-kata

________________

Beberapa menit kemudian – Kota Bawah, Distrik Timur, pukul 01.43 AM

Langit malam digulung mendung tipis, dengan lampu jalanan yang hanya sesekali menyala. Di kawasan terbengkalai dekat pelabuhan tua—tempat yang hanya dikenal dalam dunia gelap sebagai "Death Loop", para geng motor sudah berkumpul. Jalanan sempit, bekas gudang tua, dan tikungan tajam membentuk arena tak resmi yang hanya dipakai untuk taruhan nyawa dan kehormatan.

Suara motor meraung, lampu-lampu custom berwarna merah dan ungu berkelap-kelip. Di sisi jalan, kerumunan penonton liar dan beberapa geng kecil ikut menonton. Ada yang memasang taruhan, ada pula yang cuma ingin melihat siapa yang akan "jatuh" malam ini.

Lalu, suasana terbelah.

Deru motor Valkyrie memasuki arena.

Asphalt Reapers datang dalam formasi presisi. Max di depan, diikuti Cruz, Fallon, Jiro, Nate, dan Lex. Tak ada suara selain mesin. Ketika Max berhenti, semua mata tertuju padanya—sang raja jalanan.

Di sisi lain, Crimson Hounds sudah menunggu. Pemimpin mereka, Dante Raze, tersenyum sinis, helmnya tergenggam di tangan, memperlihatkan bekas luka di pelipis.

"Akhirnya datang juga," kata Dante. "Udah siap kehilangan wilayah selatan, Devereaux?"

Max turun dari motor, membuka helm perlahan, memperlihatkan tatapan mautnya.

"Gue nggak kehilangan apa pun malam ini," jawabnya pelan. "Tapi lo bakal kehilangan lebih dari sekadar taruhan."

Para kru memasang paku asap di titik tikungan, flare merah mulai dinyalakan sebagai penanda rute. Jalurnya gila:

Tikungan Sempit di Atas Jembatan Retak

Terowongan Tua yang Gelap dan Lembab

Jalur Pelabuhan Penuh Minyak Bekas dan Pecahan Besi

Cruz mengerutkan alis. "Ini bukan balapan. Ini perang."

Max naik kembali ke motornya.

"Bagus. Karena gue juga bukan cuma pembalap."

Balapan pun dimulai.

Flare merah menyala di udara—tanda dimulainya neraka di atas roda dua.

DUAR!!

Raungan mesin membelah malam, ban memutar liar meninggalkan bekas hitam di aspal tua. Suara sorakan, teriakan, dan musik liar dari geng-geng lain menjadi latar kekacauan. Enam rider Asphalt Reapers melaju seperti bayangan gelap, membelah kegelapan dan lampu kota yang suram.

Maximilian Devereaux di depan. Fokusnya tak goyah. Tangan kirinya mantap di kopling, tangan kanan menggenggam throttle seperti menggenggam takdirnya sendiri. Valkyrie melaju mulus seperti bayangan predator—liar, tapi terkendali.

Tikungan Pertama Jembatan Retak

Dua pembalap Crimson Hounds langsung mencoba menutup jalur Max. Tapi Fallon dan Jiro datang dari samping, memotong garis mereka, menciptakan ruang. Max masuk ke celah itu, menggeser motornya dengan teknik drift yang nyaris sempurna.

Ban depan nyaris menyentuh pembatas jembatan yang longgar.

"Santai, Valkyrie. Kita belum mulai main." gumam Max dalam helmnya.

Terowongan Tua – Gelap Total

Lampu LED di motor hanya menerangi sejengkal ke depan. Di sini, kecepatan jadi taruhan nyawa. Nate menyusul di sisi kiri, membawa suar oranye kecil di belakang punggungnya untuk bantu visibilitas tim. Tapi Crimson Hounds mulai licik.

CRACK!!

Sebuah rantai besi dilempar dari atas terowongan. Hampir menghantam Lex.

"F*ck!" teriak Lex, tapi dia sempat menunduk. Rantai itu menghantam dinding dan berputar ke aspal.

Fallon yang berada di belakang langsung mencatat posisi. "Mereka main curang."

Max tidak berhenti. Tak pernah.

Jalur Pelabuhan – Zona Bahaya

Jalanan licin. Tumpahan oli, genangan air, bahkan pecahan besi. Dante Raze tiba-tiba muncul di samping Max. Keduanya head-to-head. Dante menyeringai.

"You sure you still got this, pretty boy?"

Max tak menjawab. Dia menurunkan gigi, lalu…

BOOM!

Melesat lebih cepat dari yang Dante kira. Tapi Dante mencoba menabraknya dari samping. Dalam sepersekian detik, Max memiringkan tubuh, mengarahkan Valkyrie ke kanan, lalu menarik rem tangan sebentar—motor spin setengah lingkaran, lalu kembali melaju ke depan melewati Dante.

"...dan lo terlalu banyak omong."

Final Stretch – Tanjakan Besi Tua Menuju Puncak Gudang

Hanya Max dan Dante yang tersisa di depan. Di belakang, anggota lain masih melawan anggota Crimson. Suara langkah-langkah kaki dan sorakan dari atas gudang mulai terdengar.

Dante mengejar. Tapi Max tahu garis akhir bukan tentang siapa yang tercepat… tapi siapa yang paling berani.

Ia mempercepat motornya, tak menghindar dari pecahan kaca, tak melambat saat jalan mulai runtuh sebagian. Ketika Dante mulai ragu, Max terus melaju.

Dan tepat di ujung tanjakan, Max lompat.

Valkyrie terbang melintasi celah kecil antara dua bangunan—dan mendarat mulus di sisi seberang.

Sementara Dante... terlambat mengerem.

Suara rem memekik. Motornya oleng.

CRASH!!

Dia tak jatuh jauh. Tapi cukup untuk kalah.

Max berdiri di atas motornya, menatap ke bawah. Napasnya berat, tapi tatapannya tajam.

"Welcome to the street, Dante. Di jalanan, lo cuma raja kalau bisa tetap berdiri."

Dan malam itu, Asphalt Reapers sekali lagi… jadi legenda.

__________________

Tiga hari setelah kemenangan besar itu, suasana markas Asphalt Reapers mendadak berubah. Surat tantangan berlapis oli motor dilempar ke pintu depan. Tak ada nama, tak ada tanda, hanya simbol tengkorak menyeringai dengan dua kunci pas bersilang.

Max membuka kertasnya perlahan. Di dalamnya, hanya tertulis satu kalimat:

"The Ghost Serpents datang untuk mengubur legenda."

Cruz mendesis. "Gue pikir mereka cuma rumor."

Fallon menatap Max, khawatir. "Kalau ini beneran, kita nggak cuma lawan pembalap biasa… mereka main kotor. Pakai jebakan, sabotase, dan—"

"Dan nggak takut bikin darah tumpah di aspal," potong Nate, wajahnya dingin.

Max menggenggam kertas itu, matanya menajam. "Kita udah buat terlalu banyak musuh. Tapi nggak ada satupun dari mereka yang bisa bikin kita mundur."

Jiro mengangguk. "Kalau mereka mau perang, kita siapin medan-nya."

Lex menyalakan proyektor—memunculkan peta lintasan baru. Satu kata muncul di layar: "Black Viper Loop."

Lintasan ilegal yang hanya dibicarakan dalam bisik-bisik: tikungan tajam tanpa pagar, jalanan licin bekas oli, dan jembatan tua yang hampir roboh.

Max mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya.

> "Kalau mereka mau kubur legenda… kita kasih nisan dengan nama mereka sendiri."

Dan malam itu, bukan hanya aspal yang siap terbakar—tapi juga ego, dendam, dan darah. Asphalt Reapers akan kembali turun ke jalan… dan tidak ada yang akan pulang dengan cara yang sama lagi.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan itu nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membekukan ruangan yang dipenuhi aroma bensin, logam, dan rencana berbahaya. Semua menoleh. Tapi hanya Max yang benar-benar tahu siapa di balik pintu itu.

Ia berjalan pelan ke arah pintu, dan saat dibuka, di sanalah dia—Valencia Azely, atau Cia.

Dengan hoodie kebesaran, sneakers putih, dan rambut panjang yang tergerai bebas, Cia tampak seperti potret ketenangan yang tak sengaja masuk ke dalam dunia kekacauan. Mata cokelat hangatnya menatap Max, sedikit gemas, sedikit cemas.

Max menyandarkan tubuh di kusen pintu, senyum kecil terselip di sudut bibirnya. Suara beratnya keluar, tapi kali ini... lebih lembut dari biasanya.

"Kenapa... hmm?"

Cia menaikkan alis. "Kenapa kamu nggak angkat teleponku?"

"Nggak pulang kamu? Udah jam segini…" suaranya lembut, terdengar seperti kekhawatiran yang ditahan dalam bentuk pertanyaan.

Max menyeringai tipis, lalu menyandarkan tangan di atas kepala Cia yang jauh lebih pendek darinya. "Gue pulang… kalau balapan ini selesai."

"Balapan lagi?" Cia menghela napas. "Kamu tahu lintasan itu katanya—"

Max mendekatkan wajahnya, memotong pelan, "Berbahaya? Iya, tahu."

Cia menggigit bibir bawahnya, menatap mata abu-abu Max dengan ragu. "Tapi kamu bisa janji, pulang?"

Max terdiam sejenak, lalu menurunkan tangannya dari kepala Cia ke genggaman tangan kecilnya. Dingin. Ia menghangatkannya dengan kedua tangannya sendiri.

"Gue janji. Tapi lo juga janji…" Max menatap dalam.

"Kalau gue jatuh—lo jangan nyusul. Jangan masuk ke jalan ini."

Cia mengangguk pelan. Tapi Max tahu, matanya tidak setuju. Gadis itu terlalu keras kepala dalam mencintai.

"Udah sana." Max tersenyum kecil. "Nanti lo kena semprot Fallon lagi karena masuk markas tanpa helm pelindung."

Cia tertawa pelan. "Cuma aku yang boleh masuk, kan?"

Max hanya menjawab dengan satu kedipan mata dan kalimat ringan—

"Always."

Cup

satu kecupan diberikan oleh max

"Aku anter pulang ya" ucapnya max

Cia menatap Max, seolah masih ingin menolak. Tapi kecupan singkat di keningnya tadi berhasil meruntuhkan semua penolakan dalam hatinya. Ia hanya mengangguk pelan.

Max meraih jaket kulitnya yang tergantung di kursi, menyampirkannya di pundak, lalu menggenggam tangan Cia tanpa ragu. "Ayo."

Beberapa anggota Asphalt Reapers yang masih berada di ruang markas menoleh ketika Max melangkah keluar bersama Cia. Lex hanya menatap sekilas lalu kembali ke layar proyektor, Fallon mendecak pelan sambil bergumam, "Cinta memang buta."

Di luar, motor hitam legam milik Max sudah menunggu. Mesin belum menyala, tapi aura mesinnya terasa dingin dan tajam seperti pemiliknya.

Max naik lebih dulu, lalu melirik ke arah Cia sambil menyodorkan helm khusus yang warnanya serasi dengan hoodie abu-abunya.

"Pegangan yang kenceng," katanya pelan.

Cia tersenyum kecil, lalu memeluk pinggang Max dari belakang begitu motor melaju.

Mereka melaju perlahan, melewati jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan menciptakan siluet di aspal, dan setiap kali angin malam menyapu wajah Cia, ia tahu—hatinya takkan tenang sampai Max kembali dari Black Viper Loop.

Sesampainya di depan gerbang rumah Cia, Max mematikan mesin.

"Lo masuk. Jangan tungguin gue. Jangan buka jendela juga," katanya setengah bercanda, tapi dengan nada yang terlalu nyata untuk diabaikan.

Cia turun pelan, lalu sebelum masuk, ia menoleh. "Jangan bikin aku nunggu lama, Max."

Max menyeringai. "Gue selalu tepat waktu."

Dan ketika Cia menutup pintu rumah, Max kembali menatap ke depan. Malam ini belum berakhir.

Masih ada lintasan untuk dibakar.

Masih ada sejarah untuk ditulis.

Dan masih ada legenda yang harus dipertahankan.

Max kembali ke markas, Asphalt Reapers bersiap menuju Black Viper Loop. Tapi sebelumnya di tengah perjalanan… ada motor tak dikenal yang menguntit mereka berdua.

Motor asing itu terus menguntit sampai depan rumah Cia. Lampunya tetap redup, mesin hampir tanpa suara—modifikasi kelas atas. Si penguntit berhenti di seberang jalan, memiringkan helm sedikit, memperhatikan rumah itu seperti sedang memotret semuanya dalam diam.

Jendela kamar Cia menyala, bayangan tubuh rampingnya terlihat sekilas.

"Gila... ceweknya Max cakep," suara si penguntit bergumam pelan di balik helmnya, nada suaranya seperti mencampur kekaguman dengan sesuatu yang jauh lebih gelap.

Tak lama, Max melaju pergi setelah memastikan Cia masuk dengan aman. Tak tahu bahwa ada mata yang memperhatikan dari kegelapan.

Motor asing itu tetap tak bergerak selama beberapa menit. Lalu suara di intercom-nya kembali hidup, dari channel tertutup:

"Target dikunci. Kita tunggu Max jatuh… baru dia nyusul."

Suara lain menjawab singkat:

"Jangan sentuh ceweknya dulu. Biarkan dia lihat semua yang dia cintai... jatuh satu-satu."

Mesin motor menyala. Lembut, seperti bisikan maut. Kemudian, si penguntit membalik arah dan menghilang ke dalam kabut malam, meninggalkan satu jejak: niat jahat yang baru saja dibuka.

Di Black Viper Loop, Max pikir ia hanya akan balapan.

Ia salah.

Yang datang... adalah perang.

More Chapters