Prologue: Ashes Whisper Still
Di bawah langit kelam yang dipenuhi reruntuhan masa lalu, api menyala pelan di atas puing-puing kota yang pernah menjadi pusat keagungan. Asapnya membawa aroma debu, darah, dan sesuatu yang lebih tua dari waktu itu sendiri—kenangan yang berteriak dari kedalaman sejarah yang terlupakan.
Aelira berdiri di tengah lingkaran batu tua yang tertanam di dataran tandus. Ia menutup matanya, mendengarkan suara yang tak dapat didengar oleh telinga manusia biasa. Bisikan datang seperti desir angin panas—nama-nama yang hilang dari kitab suci, kutukan yang dibungkam, dan kebenaran yang dikubur dalam-dalam oleh tangan-tangan yang ketakutan.
"Aku bisa mendengar mereka lagi," gumam Aelira. Matanya terbuka perlahan, bersinar keemasan dalam kegelapan malam. Api dari obor di tangannya menari, seolah merespons denyut tak kasat mata dari dunia yang lebih dalam.
Ia bukan siapa-siapa, bukan lagi. Namun darahnya—warisan dari suku pelindung api purba—masih mengalir, dan nyala itu belum padam.
Chapter I: The Emberborne
Setiap langkah Aelira menimbulkan kepulan debu. Di sekelilingnya, reruntuhan Monasterium Caelestis menjulang seperti tulang-tulang raksasa yang terkubur sebagian. Tempat ini dulu tempat suci, rumah bagi para Virtuebound—mereka yang mengabdi pada Cahaya dan menentang dosa dalam semua bentuknya. Sekarang, hanya hening dan retakan batu yang tersisa.
"Mereka membakar tempat ini," kata suara itu lagi. Kali ini, lebih jelas. "Bukan karena takut akan kegelapan, tapi karena mereka takut akan api yang menyala terlalu terang."
Aelira berlutut, menyentuh tanah yang hangus. Seketika itu juga, seberkas visi menyeruak ke dalam pikirannya—nyala api besar, sosok berjubah yang terbakar sambil tersenyum, dan segel emas yang pecah dalam letupan cahaya merah darah.
Ia terguncang. Namun dalam ketakutan itu, Aelira tahu: ini bukan kebetulan. Ia dipanggil ke tempat ini untuk mengungkap sisa-sisa kebenaran. Nyala api itu masih ada. Di dalam dirinya. Di dalam dunia.
Chapter II: Flame of the Exiled
Di sisi lain dunia, di puncak reruntuhan menara runtuh yang menembus awan kelabu, seorang pria berdiri diam dalam bayang-bayang hujan api. Leandros. Sang Kesatria Terlupa. Ia memandangi cakrawala yang membara, tempat pertempuran terakhirnya terjadi—pertempuran yang ia sesali.
"Kau tak bisa terus lari dari apimu sendiri," suara dari kenangan masa lalunya mengiang.
Ia menggenggam gagang pedang lamanya—Fracturis. Pedang yang tidak lagi bersinar seperti dulu, kini penuh retakan. Namun di dalamnya, sisa energi masih berdenyut. Ia telah membakar terlalu banyak, mengorbankan terlalu banyak. Kini, Leandros hanya ingin satu hal: penebusan.
Namun penebusan tidak pernah murah dalam dunia yang dikuasai oleh faksi-faksi kuno.
Chapter III: Watchers in the Smoke
Di reruntuhan orbit lama stasiun Valesthia, dalam lorong-lorong bekas peradaban luar angkasa yang terbengkalai, faksi rahasia yang menyebut diri mereka The Watchers berkumpul. Mereka menyembunyikan sejarah yang tidak boleh dibuka. Mereka tidak melayani Virtues atau Sins—mereka melayani Keseimbangan.
Di tengah mereka, pemimpin bertopeng bernama Myrrha menatap panel kuno yang menyimpan rekaman tentang Thoran dan api purba. "Aelira telah menemukan pecahan pertama," katanya dengan nada datar. "Kita harus menghalanginya sebelum nyala itu tumbuh menjadi kobaran."
"Dan Leandros?" tanya salah satu anggota Watchers.
Myrrha tersenyum tipis. "Biarkan dia mencoba. Kita semua terbuat dari abu yang sama. Tapi tak semua dari kita layak menyala kembali."
Chapter IV: When Virtue Burns
Di atas menara keabadian, Luxan—High Paladin of Temperance—berlutut dalam doa. Dunia telah berubah. Cahaya yang dulu menjadi landasan kekuatan mereka, kini memudar. Tujuh Virtues mulai goyah, tak lagi utuh. Perang dengan Sins telah menguras lebih dari darah dan kekuatan—ia mencuri jiwa mereka.
"Jika kebenaran harus menyala kembali, apakah kita siap dibakar oleh nyalanya?" gumamnya.
Jawaban datang dari utusan surgawi yang turun membawa sayap dari logam suci dan luka di dadanya. "Cahaya takkan pernah cukup untuk melawan kegelapan yang dilahirkan dari api yang kau buang."
Luxan menatap langit, dan untuk pertama kalinya sejak ia menjadi Paladin, ia takut.
Chapter V: Sins Reawaken
Di bawah gurun yang terbelah, kerajaan bawah tanah Grevaron, markas dari sin Pride, membangkitkan mesin perang raksasa yang disebut "Venerator Primus". Di hadapan perangkat itu, tujuh pilar menyala—masing-masing diresapi aspek dosa.
Cravus, manifestasi dari Wrath, menggenggam tombak panjang yang diukir dari tulang surgawi. Ia tertawa. "Biarkan mereka datang. Jika mereka menginginkan api, kita akan beri mereka neraka."
Chapter VI: Rekindling
Saat takdir mempertemukan Aelira dan Leandros di reruntuhan kota api, penglihatan masa lalu mereka bergabung. Nyala yang terlupakan meledak dari dalam tanah, memperlihatkan kebenaran tentang pengorbanan Thoran. Ia bukan sekadar pahlawan—ia adalah penjaga api surgawi yang dikhianati oleh Watchers sendiri.
"Kita adalah warisan terakhir dari nyala itu," bisik Leandros.
Aelira menggenggam tangannya, dan untuk sesaat, di tengah kehancuran, mereka menyatu dalam tekad.
Chapter VII: The Last Flame
Kekuatan semua faksi bertabrakan dalam perang yang mengguncang daratan dan langit. Di tengah kekacauan, The Watchers berusaha mengaktifkan kembali Stasiun Penyeimbang, alat kuno yang dapat memadamkan seluruh sumber energi nyala di dunia—mereka ingin menutup seluruh era.
Namun Aelira telah melihat akhir itu dalam visinya.
"Jika kalian membungkam api dunia, kalian membungkam harapan."
Ia dan Leandros menyerbu pusat kendali. Dalam pertempuran epik melawan pasukan Watchers, Croustrov—entitas lama yang bangkit dari kehancuran spiritual Thoran—muncul untuk menguji mereka. Tak lagi sebagai musuh, namun sebagai penguji terakhir.
Epilogue: Flame Beyond the Stars
Aelira berdiri di atas reruntuhan terakhir Stasiun Penyeimbang. Tubuhnya terluka, tetapi nyalanya kini menyala terang, membelah langit dengan lidah-lidah emas yang lembut dan agung. Leandros, kini bersandar pada pedangnya yang terakhir, tersenyum pada akhir yang tak bisa ia ubah.
"Kau adalah nyala yang tidak bisa padam," katanya.
Aelira menatap bintang-bintang, dan di antara mereka, sesuatu bergerak. Bukan mesin, bukan dewa, tetapi nyala—kehendak purba yang tak bisa dikendalikan.
"Jika apiku harus padam, biarlah itu menjadi awal dari nyala yang tak bisa mereka kendalikan."
Dan di tempat yang jauh, jauh di kedalaman angkasa, sesuatu membuka matanya untuk pertama kali setelah ribuan tahun.