Cherreads

Chapter 4 - The Anomaly Tragedy

Langit Ibu Kota Kerajaan Varelis memancarkan nuansa keemasan ketika senja mulai menjilati atap-atap megah kota. Derap langkah para pengawal kerajaan yang menjemput rombongan Ein bergema di jalanan utama, dihiasi paving batu yang dipahat dengan ukiran sejarah panjang Varelis. Para penduduk yang beruntung berdiri di sepanjang jalan menyaksikan iring-iringan mewah itu lewat, dan mereka semua tahu — ini bukan rombongan biasa. Ini adalah kunjungan tingkat tinggi dari Kekaisaran Grahameils, disertai oleh salah satu bangsawan muda terkuat yang namanya telah mulai menembus telinga para petinggi politik: Ein Al. Venustia.

Kereta mereka digantikan dengan kendaraan kerajaan Varelis — kereta berlapis mithril dan dihiasi kristal lunaris yang hanya dipakai untuk delegasi istimewa. Di atasnya, lambang Varelis dan Grahameils terukir berdampingan, simbol sementara dari diplomasi yang dibangun dengan hati-hati.

Di dalam, Ein duduk tenang dengan mata terpejam, tidak berbicara sepatah kata pun sejak mereka melintasi gerbang kota. Derrick, yang menyadari ketenangan itu bukan sekadar diam, tetap menjaga kewaspadaan tinggi. Sementara Chelcia, duduk di seberangnya, sesekali mencuri pandang ke wajah Ein dengan ekspresi... rumit — campuran kekaguman, kepercayaan, dan sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

Setibanya di penginapan papan atas "Seraphveil Grand Court", para pelayan elit langsung menyambut. Para petinggi kerajaan tidak tinggal lama, hanya memberikan salam penghormatan dan menyampaikan undangan langsung dari Raja Varelis untuk audiensi esok hari di Balairung Kristal.

Malam itu, Ein berdiri di balkon lantai tertinggi, memandangi langit berbintang. Derrick sedang di bawah mengatur penjagaan, sementara Chelcia sudah masuk kamar. Namun, langkah-langkah ringan mendekat...

Chelcia.

"Ein... kau terlihat gelisah," katanya lembut.

Ein tidak menjawab sejenak. Tapi kemudian, dengan mata masih memandang langit, ia berkata:

"Aku melihat dunia ini seperti teka-teki besar. Dan setiap pertemuan... setiap kata... setiap tatapan... adalah bagian dari kode yang lebih luas."

Chelcia diam. Hanya angin malam yang berhembus.

---

Keesokan harinya...

Balairung Kristal dibanjiri cahaya dari kubah besar yang memantulkan sinar matahari melalui kristal etherion. Raja Zegua El. Al. Varelis berdiri di atas podium megah, mengenakan jubah keemasan dengan lambang tiga naga.

Dengan suara yang tenang dan berwibawa, ia menyambut rombongan:

"Selamat datang, para duta dari Grahameils. Putri Chelcia El. Al. Grahameils, Komandan Derrick Velstane... dan tentu saja, Ein Al. Venustia, sang 'Anak dari Strategos Takdir'."

Ein mengangguk hormat.

"Aku merasa terhormat, Yang Mulia."

Zegua tersenyum. Namun matanya menyimpan kedalaman dan kalkulasi, seperti lautan yang menenggelamkan kapal tanpa suara.

Mereka berbincang soal perdagangan, pertahanan, dan... urusan yang tidak terucapkan. Dan saat pertemuan akan selesai, Zegua memberikan satu dokumen kepada Ein.

"Ini... adalah Kode Sunyi. Hanya mereka yang memahami kegelapan politik yang bisa membacanya," katanya sambil tersenyum penuh makna.

Ein membukanya. Mata tajamnya langsung menyapu huruf-huruf asing yang membentuk pola aneh.

Matanya membelalak sedikit. Tangannya mengepal.

"Ini... bukan hanya kode. Ini adalah ancaman..." gumamnya pelan.

Zegua hanya tertawa ringan.

"Selamat datang di medan pertempuran yang sebenarnya, Ein Al. Venustia."

Dan…

BRAKKKK!

Suara ledakan dahsyat mengguncang seluruh balairung.

Seluruh kaca pecah.

Sebuah sosok bertopeng merah darah berdiri di tengah puing-puing, dikelilingi aura seperti kabut neraka.

Dia berbicara...

"Zegua... sudah saatnya membayar utang darahmu."

Ein berdiri perlahan...

Derrick sudah menarik pedangnya...

Chelcia bersembunyi di balik tiang marmer...

Dan sosok bertopeng itu hanya menunjuk Ein...

"Dan kau... kau bukan bagian dari rencana. Tapi aku suka kejutan."

Lalu sebuah kilatan merah meledak di udara...

----

Kaca-kaca Balairung Kristal masih berjatuhan saat angin sihir menderu masuk. Aura hitam pekat dengan garis merah menyala mengamuk dari titik kedatangan sosok bertopeng merah darah tadi — memecahkan keheningan diplomasi menjadi simfoni kekacauan.

Ein berdiri diam di tengah puing.

Tapi bukan diam yang tak berdaya. Diamnya adalah kalkulasi. Mata emasnya perlahan berubah — tak bersinar, tapi seakan menelan seluruh cahaya di sekitarnya.

Sementara itu, Raja Zegua berdiri dari tahtanya dengan lambat. Raut wajahnya datar, tapi jarinya bergerak-gerak pelan, mengaktifkan serangkaian formasi sihir pertahanan kerajaan. Pilar-pilar rune kuno di lantai balairung mulai menyala — Eramia Crux System, sistem pertahanan tertinggi istana Varelis, terbangun dari tidurnya.

Sosok bertopeng melirik ke arah rune yang menyala. Dia berdecak — bukan karena takut, tapi kesal karena waktunya dipersingkat.

"Aku tak datang untuk kalian... aku datang untuk dia," katanya sembari menunjuk Ein.

Derrick tak menunggu lebih lama. Dengan satu isyarat tangan, tiga anak buahnya yang menyamar sebagai pelayan istana menghilang dari tempatnya dan muncul di sisi musuh, mengayunkan pedang dan tombak sihir.

Clang! Boom!

Sosok bertopeng menahan semuanya dengan satu gerakan: membuka jubahnya yang terbuat dari Tenebralith, kain yang menyerap sihir dan fisik sekaligus. Serangan ketiga prajurit elit Derrick hanya meninggalkan debu, dan dalam sepersekian detik, satu di antara mereka sudah terpental menabrak dinding.

Derrick mencabut pedangnya — Veyndare, pedang kristal dari es abadi yang berasal dari kutub utara benua.

"Tiga detik cukup," katanya.

Ein melirik ke Derrick sejenak. "Dua."

Derrick tersenyum kecil.

Dalam waktu dua detik kemudian, sosok bertopeng terpaksa mundur dua langkah setelah Derrick menebas lurus dan menghancurkan pelindung sihir lawan. Tapi bukan luka yang tercipta — hanya retakan tipis di udara.

Retakan? Bukan... lebih tepatnya distorsi ruang. Ein mengamati hal itu dalam diam. Dia belum bergerak, bahkan selangkah pun belum.

---

Sementara itu, di luar istana:

Chelcia yang berhasil lolos bersama pengawal khusus Varelis — Lady Sephian — sedang menuju ke ruang bawah tanah kerajaan: Sanctum Arcanum, tempat tersimpannya relik pelindung kerajaan. Mereka tahu, jika sosok itu bisa mengacak-acak Balairung Kristal, maka ini bukan musuh sembarangan. Bahkan mungkin... bukan dari dunia ini.

Chelcia menarik napas.

"Sepertinya... aku harus ikut bertarung," gumamnya lirih.

Tapi Lady Sephian menahan tangannya.

"Tunggu sinyal dari Ein Al. Venustia. Dia bukan hanya sekadar bangsawan... Dia adalah penjaga garis keseimbangan yang lebih dalam daripada yang kita duga."

---

Kembali ke dalam Balairung...

Sosok bertopeng kini mengangkat tangannya ke atas.

Udara di sekitar mulai bergetar. Di atasnya, muncul bentuk pusaran seperti celah antardimensi, dan dari sana keluar... fragmen energi yang sangat tidak stabil. Tidak berasal dari elemen mana pun. Bukan sihir. Bukan spiritual. Bukan ilahi. Tapi sesuatu yang tak dikenal.

Ein akhirnya berbicara.

"Cukup."

Semua getaran berhenti.

Semua suara menghilang.

Dan bahkan detak jantung semua makhluk di sekitar terasa tertunda.

Ein melangkah maju.

"Pergi. Sekarang. Kau tidak punya tempat di sini… Arivahl Tzurt," katanya dengan suara yang lebih berat dari biasanya — seakan bukan dia yang bicara, tapi kehendak dari sesuatu yang lebih tua dari dunia ini.

Sosok bertopeng terhuyung.

"...Kau... mengenal... namaku?" suaranya kini bergetar.

Ein menatapnya lurus.

"Aku mengenal semuanya... bahkan sebelum mereka mengenal dirinya sendiri."

Tiba-tiba...

CRAAACKKKK!!!

Langit di atas istana terbelah — bukan karena sihir, bukan karena kekuatan, tapi karena konsep realitas mulai gagal memahami keberadaan dua entitas di tempat yang sama: Ein dan Arivahl Tzurt.

Zegua berdiri dengan wajah pucat. Bahkan dia pun kini sadar: pertempuran ini bukan pertempuran antar manusia atau kerajaan.

Ini adalah konflik antara narasi dan eksistensi.

Dan sebelum tabir retak itu pecah sepenuhnya...

Arivahl tertawa dan meledak menjadi kabut darah hitam, menghilang ke dalam retakan dimensi, sembari berbisik:

"Aku akan kembali... tapi kali ini, bukan hanya satu dari kami..."

Ein memejamkan matanya perlahan.

Balairung Kristal hening.

Semua mata menatap Ein.

Zegua akhirnya bersuara, pelan...

"Ein... siapa... kau sebenarnya?"

Ein hanya tersenyum samar.

"Pertanyaan yang bagus... tapi jawabannya tidak untuk hari ini."

suara keras dari langit terdengar:

DUARRRR!!!

Sebuah meteor kristal berwarna merah darah menembus atmosfer... dan menuju langsung ke benua timur.

----

Langit Ibu Kota Varelis berubah menjadi merah darah.

Tidak, ini bukan karena sihir biasa, bukan pula karena fenomena cuaca. Ini adalah respon realitas terhadap sesuatu yang seharusnya tidak boleh eksis dalam rentang naratif dunia ini: Fragmen-Murni dari Dimensi Paradoks—yang kini datang dari arah timur dalam bentuk meteor kristal merah.

Ein hanya memandangi langit.

Matanya tak berkedip. Bukan karena dia takut. Tapi karena... dia sudah pernah melihat ini sebelumnya.

Derrick, yang masih berdiri tegap meski darah menetes dari pelipisnya pasca pertempuran tadi, segera bergerak mendekati Raja Zegua.

"Yang Mulia, saya sarankan untuk segera mengaktifkan seluruh pertahanan absolut kerajaan. Ini bukan musuh biasa. Ini adalah..."

Zegua mengangguk cepat, memotong ucapan Derrick. "Aku tahu... Anomali."

---

Sementara itu, para ahli sihir tertinggi Varelis yang berkumpul di Menara Arcadium, pusat kontrol sihir kerajaan, kini sibuk membacakan mantra-mantra benteng global.

"Protokol Elthren! Lapisan ke-7 dan ke-12 aktifkan bersamaan!"

"Vector sihirnya melingkar, ini bukan jatuh bebas... ini... dikendalikan!"

Para penyihir panik. Komandan Menara, Lady Azvelle, wanita paruh baya dengan mata putih tanpa pupil, berdiri di tengah lingkaran sihir.

"Ini bukan hanya invasi… ini adalah tanda dimulainya percabangan narasi tingkat absolut. Sesuatu... atau seseorang, sedang mencoba mengintervensi alur utama dunia ini."

---

Kembali ke Ein

Ein mulai melangkah keluar dari istana, berjalan menuju pelataran tinggi Varelis yang bisa menghadap langsung ke langit timur.

Chelcia mencoba menghentikannya.

"Ein! Jangan terlalu dekat dengan—"

Namun Ein hanya menoleh dan tersenyum.

"Aku harus menyambut... tamu lama."

Di dalam pikirannya, secara otomatis Relorleast kembali terbuka. Biji Lore dari entitas baru mulai bersinar dalam bentuk simbol tak dikenal. Ein mengulurkan tangan—dan menyentuhnya.

Nama Entitas: Erxvhal Ri-Tzael

Kedudukan: "Pengangkut Pecahan Dualitas"

Tujuan: Menggeser jalur naratif utama dunia ke dalam cabang anomali absolut

Ein mendesah.

"Jadi, kau benar-benar datang…"

---

Langit Terbelah

Meteor Kristal akhirnya menembus lapisan langit ketiga, menyebabkan Fracture Pulse—gelombang suara retak yang tak bisa ditangkap telinga biasa. Setiap makhluk tingkat rendah langsung pingsan. Monster gurun dari wilayah barat mulai berlarian seperti dikejar bencana, merasakan tekanan naratif dari langit.

Satu kilatan petir biru perak menyambar meteor sebelum menabrak daratan.

BOOOOMMM!!!

Tanah bergetar.

Awan terbelah. Kabut hitam menyebar.

Dan dari dalam kawah kristal itu... seseorang berjalan keluar.

Bertubuh tinggi, mengenakan jubah obsidian dengan lapisan bercahaya seperti bintang. Wajahnya tersembunyi oleh topeng halus dari bahan transparan yang tak bisa dijelaskan. Langkahnya perlahan, tapi setiap langkah menciptakan gema narasi.

"Ein Al. Venustia..." katanya dengan suara resonan dua nada—seolah dua eksistensi berbicara serentak.

"Kau telah menyentuh Lore. Maka kau wajib diuji."

Ein mengangguk pelan.

"Aku sudah siap… sejak sebelum aku lahir di dunia ini."

---

Zegua, dari atas benteng istana, hanya bisa menggenggam tahta kayu Varelion miliknya, dengan wajah cemas.

"…Ternyata benar kata leluhurku... Jika satu dari mereka datang ke dunia kita… maka dunia ini tak akan pernah sama lagi."

-----

(Trial Beyond the Narrative Line)

Langkah itu sunyi.

Tapi dunia merespon seolah waktu sendiri menahan napas.

Sosok berjubah obsidian itu kini berdiri tepat di hadapan Ein, di tengah pelataran tinggi Kerajaan Varelis. Angin berhenti bertiup. Udara terasa hampa. Cahaya tampak redup meskipun matahari masih tergantung di langit.

Derrick, Chelcia, Raja Zegua, dan seluruh petinggi istana hanya bisa menatap tanpa bergerak—karena waktu di sekitar mereka telah dimanipulasi secara naratif. Mereka tak dibekukan oleh sihir, tapi oleh hukum penulisan kosmik.

---

di tempat yang terdapat Dua Entitas yang Tidak Setara, saling Berbincang

Entitas Berjubah:

"Lore-mu sudah tersentuh oleh Tree of World, maka takdirmu tak lagi dapat dibendung."

Ein:

"Jika ujian ini adalah bagian dari hukum eksistensi... maka aku tidak akan menolaknya. Tapi aku tak akan mengizinkan dunia ini hancur karena 'ujian' yang kau bawa."

Entitas Berjubah:

"Bukan dunia ini yang sedang diuji, Ein Al. Venustia... tapi apa kau layak menyimpang dari narasi utama."

---

Panggung Ujian: Naratif Asolyth

Tiba-tiba, sekeliling mereka berubah.

Langit, tanah, ruang—semuanya terkoyak dan membentuk lingkaran naratif asolyth, sebuah ruang uji dari dimensi luar narasi. Di dalamnya, hukum realitas ditangguhkan, dan hanya kesadaran eksistensial yang berlaku.

Ein kini berdiri di atas semacam lantai tak terlihat, dikelilingi simbol yang berputar: waktu, eksistensi, kepribadian, dan kenyataan semuanya seperti dililit oleh huruf-huruf kosmik.

---

Ujian Pertama: Cermin Eksistensi

Sebuah cermin besar muncul di hadapan Ein. Tapi bukan cermin biasa—ini adalah Refleksi Esensi. Di dalamnya bukan wajah Ein, melainkan semua kemungkinan dirinya.

Ein yang menjadi Raja.

Ein yang menjadi iblis.

Ein yang mati dalam usia muda.

Ein yang menjadi Voidwalker.

Ein yang... menjadi penulis realitas.

Suara entitas bergema:

> "Pilih satu. Dan tolak semua yang lain. Atau hancur dalam ketidakkonsistenan esensi."

Ein menatap semuanya, diam beberapa saat... lalu berkata:

> "Aku menolak memilih salah satu. Karena aku bukan hasil satu pilihan—aku adalah hasil dari semua kemungkinan."

Cermin itu meledak menjadi cahaya perak.

---

Ujian Kedua: Perdebatan Esensial

Dari kegelapan muncul sosok lain—versi Ein yang jauh lebih tua, matanya bercahaya merah, mengenakan jubah putih dengan lingkaran void di dadanya. Ini adalah Ein dari Timeline Tertinggal, hasil dari narasi yang hancur.

> "Kalau kau ingin menyimpang dari jalur narasi utama, maka buktikan. Jelaskan... kenapa kau harus tetap eksis?"

Maka dimulailah perdebatan tingkat eksistensial—bukan adu argumen biasa, tapi pertarungan antara konsep narasi dan logika kesadaran. Mereka saling melempar argumen yang berbentuk mantra, menyusun kalimat yang mengubah realitas dalam ring:

"Aku berpikir, maka aku menyimpang."

"Kesadaran bukanlah hak—ia adalah kutukan."

"Setiap eksistensi punya kemungkinan untuk membelokkan garis absolut."

Setiap argumen adalah serangan dan pertahanan.

Akhirnya, Ein berdiri kokoh sambil berkata:

> "Aku tak eksis karena ditulis. Aku eksis karena aku memahami bahwa aku bisa ditulis."

Ledakan energi keluar dari tubuhnya. Realitas di dalam ring mulai bergoyang.

---

Sementara Waktu Bergerak Lagi

Chelcia merasakan detak jantung Ein dari kejauhan—meski tubuhnya tak bergerak, jiwanya mengguncang ruang.

Zegua menatap langit yang mulai membentuk simbol tak dikenal.

"Derrick... apakah kau tahu... siapa sebenarnya anak itu?"

Derrick hanya mengangguk, pelan.

> "Bahkan Kaisar Grahameils tidak tahu. Tapi aku tahu satu hal: Dia bukan bagian dari dunia ini, tapi dia adalah... alasan dunia ini bertahan."

---

Ujian Ketiga: Pertarungan Final

Entitas berjubah kini mengangkat tangan.

> "Kau telah lulus dua ujian. Tapi untuk menyimpang dari jalur, kau harus mengalahkanku—setidaknya sekali."

Ein berdiri, napasnya tenang. Aura dari Tree of World bergetar di balik punggungnya, membentuk bayangan pohon raksasa.

> "Baik. Tapi jika aku menang... kau harus menjauh dari dunia ini selamanya."

Pertarungan dimulai.

Tanpa sihir biasa. Tanpa pedang.

Pertarungan antar logika, narasi, dan eksistensi.

---

Dan…

tepat ketika tangan Ein menyentuh dada entitas berjubah, dan... segalanya menjadi putih.

-----

(Ruangan Di Mana Realitas Dibisukan)

Warna putih.

Bukan putih biasa—bukan putih tembok, bukan putih salju—tapi putih eksistensial.

Putih yang tidak mengizinkan bayangan ada.

Putih yang tidak memberi izin bagi waktu untuk bergerak.

Ein membuka matanya perlahan.

Ia berdiri di tengah kehampaan itu. Tidak ada lantai, tidak ada langit, tidak ada batas. Tapi dia tahu, secara naluriah: inilah ruang final dari penyimpangan naratif.

---

Di hadapannya muncul kembali sosok berjubah obsidian. Namun kini, wajahnya terlihat. Ia tak punya mata, tapi wajahnya membentuk ekspresi... kosong. Tidak ada amarah, tidak ada ketenangan. Hanya penilaian.

Entitas:

"Aku adalah Arbitrium, Penilai Jalur Naratif. Kau telah menyentuh akar dari Tree of World, dan itu melanggar batas narasi linear dunia ini."

Ein:

"Kalau begitu, kenapa tidak membunuhku saja sejak awal?"

Arbitrium:

"Karena bahkan kematianmu... akan menciptakan paradoks. Kau bukan hanya menyimpang, kau adalah kemungkinan tak-ditulis. Dan karena itulah... aku harus membawamu ke sini."

---

Arbitrium menjentikkan jarinya.

Tiba-tiba, dari kehampaan putih itu, muncul versi-versi dari Ein—ratusan ribu, jutaan, semuanya berbeda:

Ein yang menjadi iblis penguasa kehampaan.

Ein yang menjadi dewa pencipta semesta.

Ein yang mati sebagai manusia biasa tanpa menyadari apa-apa.

Ein yang menjadi Void Scriptwalker, sang penjelajah naskah.

Semua mereka mengelilingi Ein.

Dan Arbitrium berbicara:

> "Pilih satu. Atau lenyap dalam keabadian sebagai entitas tak-beridentitas."

Ein menatap semuanya. Tatapannya dalam. Ia tidak terkejut. Ia hanya tenang.

> "Semua ini adalah aku. Tapi aku bukan satu pun dari mereka. Aku adalah kemungkinan yang menolak difinalkan."

Arbitrium tak menjawab, tapi wajahnya tampak berubah—seolah... mulai mengakui.

---

Konsekuensi dari Penolakan Finalisasi

Ruang putih mulai retak.

Dari retakan itu, muncul simbol-simbol pohon raksasa. Ranting, buah, biji, akar—semua meledak menjadi pancaran cahaya esensial.

Tree of World, meski tak benar-benar ada di ruangan ini, memproyeksikan kehadirannya karena kesadaran Ein telah tumbuh di dalamnya.

---

Perbincangan Akhir di White Room

Arbitrium:

"Jika kau bukan bagian dari narasi, maka kau tak akan pernah benar-benar eksis di dalamnya. Dunia akan melupakannya. Tidak ada yang akan ingat siapa Ein. Kau akan... sendirian."

Ein:

"Aku tak perlu dikenang. Aku hanya perlu tahu bahwa keberadaanku berarti... meskipun itu hanya untuk satu makhluk, atau bahkan... hanya untukku sendiri."

Arbitrium:

"…Maka jadilah kau... Entitas Parafraktal."

---

Ein Diberikan Lambang "Parafraktal"

Dari udara, terbentuk segitiga berpola fraktal di tengah dadanya—tak terlihat oleh siapa pun, tapi beresonansi dengan setiap lapisan realitas.

Simbol ini membuatnya menjadi makhluk yang tidak tergantung pada jalur narasi dunia, tapi mampu melintas antar-narasi dan memengaruhi bahkan hal yang tak tertulis.

Arbitrium pun lenyap.

Dan Ein jatuh... kembali ke dunia.

Tubuhnya jatuh tepat di kamar penginapan mewah di ibu kota Kerajaan Varelis. Chelcia yang melihat itu langsung menjerit, menghampirinya. Derrick masuk dalam posisi siaga.

"Ein?! Kau... selama lima hari ini tak bergerak sedikit pun!"

Ein membuka matanya perlahan.

Tatapannya... tidak sama. Dalam. Tak terjangkau. Tapi juga... penuh kasih.

Ia tersenyum tipis.

> "Maaf membuat kalian khawatir."

---

Malam itu, ketika semuanya mulai tenang...

Langit di atas ibu kota berubah warna.

Dari biru menjadi ungu kehitaman.

Bintang-bintang bergerak, membentuk pola misterius.

Derrick melihat ke atas.

> "Itu... bukan bintang biasa."

Chelcia berbisik, tubuhnya menggigil.

> "Kenapa... kenapa aku merasa seperti... sesuatu dari luar dunia... sedang memandangi kita?"

Ein hanya diam.

Tapi matanya kini menatap langit itu, dan ia tahu:

> "Waktu... tidak memberiku banyak lagi."

------

— To be continued

More Chapters