Suara siulan nyaring terdengar saat uap panas menyembur dari lokomotif, menandakan bahwa perjalanan telah berakhir. Gemuruh roda besi yang bergesekan dengan rel mulai mereda, diiringi oleh suara peluit panjang dari kondektur.
"Hey! Ayo bangun, ini tujuan terakhir. Mana tiketnya?" suara serak seorang pekerja membuyarkan lamunan Hiori.
"Huh? Oh ya..." Dengan sedikit linglung, ia merogoh sakunya dan menyerahkan tiket lusuhnya. Pekerja itu mengangguk singkat sebelum melangkah pergi, sibuk dengan tugasnya yang lain.
Saat Hiori menuruni tangga kereta, udara kota Hulu langsung menyergapnya. Ia menarik napas dalam-dalam—udara di sini terasa berbeda dari kota Ortkli yang dipenuhi asap industri. Ada sedikit aroma kayu basah bercampur dengan bau tanah yang baru tersiram hujan.
"Ya Tuhan..." gumamnya seraya meregangkan tubuh, otot-ototnya yang tegang perlahan mulai rileks setelah perjalanan panjang. Matanya menelusuri pemandangan kota di hadapannya.
Kota Hulu adalah kota transit besar yang berdiri di antara jalur perdagangan utama. Bangunannya terbuat dari kombinasi kayu dan batu, menciptakan perpaduan yang kokoh namun tetap tradisional. Banyak rumah memiliki atap runcing dengan jendela kaca berembun, menandakan hawa yang lebih sejuk di daerah ini.
Di kejauhan, terlihat sungai besar membelah kota menjadi dua, dengan jembatan batu melengkung yang menghubungkan kedua sisi. Sungai itu adalah nadi kehidupan kota Hulu, membawa kapal dagang kecil yang berlayar perlahan, membawa berbagai barang dari kota-kota lain.
Suara hiruk-pikuk pasar terdengar dari kejauhan—pedagang meneriakkan harga dagangan mereka, suara koin beradu, dan tawa para anak kecil yang berlarian di antara keramaian. Hiori melihat berbagai macam orang di sini—para saudagar dengan pakaian mencolok, buruh yang membawa peti-peti besar, hingga beberapa sosok berjubah gelap yang berjalan dengan langkah cepat, seolah menghindari tatapan orang lain.
"Jadi begini kota Hulu ya?" Ia menyeringai kecil. Kota ini jelas berbeda dari Ortkli. Tidak ada kepulan asap hitam yang memenuhi langit, namun bukan berarti tempat ini lebih tenang. Hulu adalah kota yang sibuk, penuh dengan orang-orang yang memiliki tujuan masing-masing.
Hiori memasukkan tangannya ke dalam saku mantel dan mulai berjalan. Langkahnya ringan, namun pikirannya tetap waspada. Di kota sebesar ini, siapa pun bisa menjadi teman… atau musuh.
"Ya... Aku di sini cuma sebentar," gumam Hiori, matanya menyapu pemandangan sekitar dengan tajam.
Ia menarik napas panjang, membiarkan udara sejuk kota Hulu mengisi paru-parunya sebelum kembali melangkah. Sepatu botnya menapak di jalan berbatu, menyusuri lorong-lorong yang dipadati orang. Di kejauhan, teriakan pedagang masih menggema, bercampur dengan derap langkah kuda dan suara roda gerobak yang berdecit.
Namun, Hiori tidak tertarik untuk berlama-lama. Tujuannya sudah jelas.
Saat ia mendekati gerbang kota, angin sore berembus, menggoyangkan jubahnya perlahan. Menara penjaga berdiri kokoh di kedua sisi gerbang, dengan beberapa prajurit bersenjata tombak berjaga, mengamati setiap orang yang masuk dan keluar.
Begitu Hiori melewati lengkungan batu besar yang menjadi pintu keluar, ia melirik sekilas ke belakang. Kota Hulu, dengan segala hiruk-pikuk dan kehidupannya, mungkin menyimpan banyak rahasia. Namun, bukan di sini ia akan berhenti.
"Dunia ini luas... Aku tidak bisa terpaku di satu tempat terlalu lama," gumamnya sebelum melangkah mantap menuju jalan setapak yang membentang di depan, meninggalkan kota di belakangnya.
Hiori menghela napas panjang, menatap jalan setapak yang membentang di depannya. Pepohonan rimbun di kanan dan kiri jalan bergoyang diterpa angin sore, menciptakan desiran halus yang menenangkan. Namun, ia tahu perjalanan ini tidak akan sesederhana itu.
"Jauh gak ya?" gumamnya sambil mengencangkan mantel. "Semoga gak lebih dari lima kilometer... Kalau lebih, aku bakal benar-benar tersiksa."
Langkahnya mantap menapaki jalan berbatu yang sedikit menanjak. Burung-burung berkicau di kejauhan, sementara suara aliran sungai kecil mengiringi perjalanan. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi dedaunan menyegarkan pikirannya yang masih penuh dengan kejadian di Ortkli.
Namun, ketenangan ini hanya sementara. Hiori tahu betul bahwa dunia tidak akan membiarkannya berjalan dengan damai begitu saja.
Hiori terus melangkah di jalan setapak yang semakin menjorok ke dalam hutan. Pepohonan di sekitarnya menjulang tinggi, batangnya kasar dan berlumut, sementara dedaunan lebat membentuk kanopi yang hanya mengizinkan sedikit cahaya matahari menerobos masuk. Udara di sini lebih sejuk, disertai aroma tanah lembab dan bunga liar yang tumbuh di sela-sela akar pohon.
Sesekali, suara gemerisik terdengar dari semak-semak, membuatnya waspada. Ia tahu hutan seperti ini sering menjadi tempat persembunyian hewan buas—atau yang lebih berbahaya dari itu.
"Lumayan tenang... tapi tetap bikin merinding," gumamnya sambil menajamkan pendengaran.
Di kejauhan, terdengar aliran sungai yang semakin jelas. Ia berjalan mendekat dan menemukan sungai yang mengalir jernih di antara bebatuan besar yang tertutup lumut. Ikan-ikan kecil berenang di dalamnya, sementara burung-burung berwarna cerah sesekali hinggap di dahan yang menjorok ke air.
Tak jauh dari sana, terdapat jembatan kayu tua yang tampak sudah lama tidak diperbaiki. Papan-papannya agak lapuk, beberapa di antaranya terlihat goyah, seolah bisa roboh kapan saja. Hiori mengetuk salah satu papan dengan kakinya.
"Ini masih bisa dilewati gak ya?" pikirnya.
Namun, sebelum ia sempat mengambil keputusan, terdengar suara geraman dari arah hutan. Hiori refleks berbalik, matanya menajam. Dari balik pepohonan, siluet sosok besar mulai tampak, disertai dengusan berat.
"Hah... Aku tadi berharap perjalanan ini gak membosankan, tapi ini agak terlalu cepat," ujarnya, bersiap menghadapi apa pun yang muncul dari balik bayangan hutan.
"Keluar kau..." Suaranya terdengar dingin, hampir seperti bisikan angin di tengah hutan yang sunyi. Tatapan tajamnya menusuk ke arah bayangan di balik pepohonan.
Hening.
Hanya suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin, bercampur dengan gemuruh sungai di kejauhan. Namun, Hiori tetap berdiri tegak, tidak menunjukkan sedikit pun rasa gentar. Ia tahu ada sesuatu yang mengintainya, sesuatu yang lebih dari sekadar binatang liar.
"Apa kau hanya akan bersembunyi seperti pengecut?" Suaranya semakin rendah, hampir seperti ejekan. "Kalau kau tak berani, pergilah. Jangan buang waktuku, dasar makhluk tak berakal..."
Tiba-tiba, terdengar raungan rendah, seperti suara parau yang tertahan. Dari dalam kegelapan, dua pasang mata merah menyala muncul, menatapnya dengan penuh kebencian. Sesosok makhluk besar, berbulu hitam pekat dengan cakar panjang dan rahang yang dipenuhi gigi tajam, merangkak keluar dari balik semak-semak. Nafasnya berat, setiap embusan disertai kabut tipis yang menandakan panas tubuhnya.
Hiori menyeringai tipis, jemarinya meraba gagang pedangnya.
"Ah... akhirnya kau muncul. Sudah kuduga, kau bukan sekadar binatang biasa." Ia menurunkan tubuhnya sedikit, bersiap menghadapi pertarungan. "Kalau begitu, mari kita lihat siapa yang sebenarnya berakal di sini..."
Makhluk itu melesat liar dengan empat kakinya, menerjang Hiori seperti bayangan gelap yang haus darah. Napasnya kasar, menciptakan kabut tipis saat moncongnya menganga lebar, memperlihatkan deretan gigi tajam yang siap merobek apa pun di hadapannya.
Namun, Hiori tidak bergerak. Ia hanya berdiri tegak, matanya tajam bak elang yang mengamati mangsanya.
Tepat sebelum makhluk itu menerjangnya, ia menyeringai.
"Buruk sekali caramu menyerang..."
Dengan satu gerakan cepat, Hiori mengangkat kakinya dan menendang makhluk itu ke samping dengan tenaga yang luar biasa.
BUGH!
Makhluk itu terpelanting ke udara, tubuh besarnya seperti boneka kain yang dilempar, sebelum akhirnya jatuh ke dalam sungai dengan bunyi CLOSHH! yang menggema di antara pepohonan. Riak air membuncah ke segala arah, menelan sosok berbulu hitam itu ke dalam arus deras.
Hiori menghela napas pelan, lalu menepuk ujung sepatunya yang sedikit kotor akibat kontak singkat tadi.
"Konyol sekali. Setidaknya coba buat aku serius sedikit." Ia memutar pedangnya dengan santai, menunggu untuk melihat apakah makhluk itu masih ingin melanjutkan pertarungan atau memilih tenggelam dalam arus sungai.
Ia terus menatap makhluk itu dari kejauhan, yang kini hanya bisa mengerang pelan di tepian sungai, tubuhnya gemetar, bulunya basah kuyup dan mata liar tadi kini padam tak berani menatap balik.
Hiori menyipitkan mata. "Tch... Menyedihkan."
Dengan langkah ringan namun penuh percaya diri, ia membalikkan badan dan berjalan melewati jembatan kayu tua yang bergoyang sedikit tiap kali ia menginjaknya. Di bawahnya, air sungai mengalir deras, seolah membawa serta sisa kegilaan dari pertempuran singkat tadi.
"Yah... setidaknya ada hiburan walaupun cuma sebentar," gumamnya dengan nada malas, kedua tangannya masuk ke saku mantel. Angin sore berembus pelan, meniup ujung rambutnya sambil membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur.
Langkahnya perlahan menjauh, tapi aura dingin dan tajam yang ia tinggalkan tetap menggantung di udara. Seakan berkata: Jangan pernah ganggu perjalananku, kecuali kau siap menanggung akibatnya.
Empat jam telah berlalu, namun langkah kaki Hiori seperti tak membawa kemajuan apa-apa. Pemandangan di sekelilingnya tak berubah—pepohonan raksasa dengan akar mencuat dari tanah, ranting-ranting menjulur seperti tangan yang mencoba meraih langit, dan kabut tipis yang menyelimuti jalan setapak bagai bisikan rahasia yang tak ingin diungkap.
"Apaan ini... Kenapa hutannya luas sekali ya?" gerutunya pelan, suara lelah dan curiga menyatu. "Apa aku tersesat? Tapi aku sudah ikutin jalan sesuai petunjuk Tuan Gamiel..."
Ia menghela napas, namun tetap melangkah, menyibak semak-semak dan ranting kering, hingga pandangannya tertumbuk pada sosok kakek tua di kejauhan—seorang pria berambut perak yang tampak tekun memotong kayu dengan kapak besar, seolah dunia ini hanya terdiri dari dirinya dan batang-batang pohon yang harus ia tumbangkan.
Mata Hiori membelalak. "Akhirnya... manusia juga!" Tanpa pikir panjang, ia mempercepat langkahnya, mantel hitamnya berkibar ditiup angin hutan yang lembap. "Kalau aku beruntung, mungkin dia tahu jalan keluar... atau setidaknya tempat untuk berteduh."
Sesampainya di dekat kakek itu, ia sedikit menahan napas, lalu berkata dengan nada sopan namun tetap membawa kesan dingin khas dirinya, "Permisi... Kakek, boleh aku bertanya sesuatu?"
Kakek itu menghentikan ayunan kapaknya, menatap Hiori dari ujung rambut sampai ke ujung sepatu dengan tatapan curiga yang super serius—namun entah kenapa lebih terlihat seperti tatapan kucing tua yang kebingungan.
"Tunggu, tunggu, tunggu... Kamu itu siapa? Kenapa tiba-tiba nyelonong ke sini?" tanyanya sambil mengangkat satu alis, seperti sedang menilai apakah Hiori hantu, tukang tipu, atau penjual panci keliling.
"Oh, ya... Maaf, nama lengkapku Hiori Ashley Mahardika. Tapi panggil aja Hiori, biar gak ngos-ngosan manggilnya. Aku cuma mau nanya arah... Kakek tahu gak arah ke Desa Winak di mana?" ucap Hiori sambil sedikit membungkuk sopan, meski wajahnya tetap datar dan khas "dingin tapi sopan."
Kakek itu mengelus janggutnya yang putih dan kusut seperti sarang burung. "Oh... Desa Winak ya? Hmm... Kalau kamu terus jalan ke arah kanan, kamu bakal ketemu..."
Ia berhenti mendadak, ekspresinya berubah jadi misterius.
"Ketemu apa?" tanya Hiori dengan penasaran yang terpendam di balik nada datarnya.
Kakek itu malah menyipitkan mata dan bertanya lagi, "Kamu itu siapa?"
"Hah!? Bukannya aku udah ngasih tahu barusan!? Hiori. Ashley. Mahardika. Kalau masih bingung, panggil H.A.M aja sekalian!" balas Hiori sedikit gemas.
Kakek itu mengangguk pelan, lalu tiba-tiba tersenyum lebar. "Ohhh... Hiori! Kenapa gak bilang dari tadi?"
Hiori menghela napas panjang, menatap kakek itu dengan ekspresi pasrah. "Aku... beneran bilang dari tadi... Tapi oke, lanjut... Arah kanan terus ketemu apa, Kek?"
"Ketemu persimpangan. Kalau kamu belok kiri di sana, terus jalan sampai ketemu batu gede yang bentuknya mirip ayam—nah, dari situ kamu tinggal belok ke arah matahari jam lima sore."
Hiori mematung sejenak. "Matahari... jam lima... sore... Ini kenapa jadi pelajaran geografi pakai teka-teki?" bisiknya sambil menepuk jidat.
"Ahahaha, biar gak bosan di jalan," jawab si kakek dengan santai, lalu kembali memotong kayu.
Hiori hanya bisa tertawa tipis, lalu melangkah pergi sambil bergumam, "Semoga batu ayam itu beneran mirip ayam..."
"Terima kasih ya, Kek." Ucap Hiori sambil melambai pelan, lalu lanjut melangkah di jalan setapak yang dipenuhi daun gugur dan aroma tanah basah.
Namun baru beberapa langkah...
"TUNGGU!!" teriak si kakek dengan suara cempreng tapi menggelegar, seakan-akan baru menyadari sesuatu yang sangat penting. Hiori langsung berhenti, menoleh pelan seperti karakter anime yang habis kehilangan harapan hidup.
"Ada apa lagi, Kek?" tanyanya dengan nada campur aduk antara penasaran dan... sedikit trauma.
Kakek itu menatap Hiori dari kejauhan, matanya menyipit seperti sedang menilai karya seni abstrak yang tak bisa dipahami logika manusia. Lalu dengan polosnya ia bertanya,
"Kamu itu siapa?"
Hening. Angin berdesir. Seekor burung gagak terbang melintasi langit seperti efek dramatis di film.
Hiori menatap ke langit, seolah meminta malaikat turun memberi kesabaran. "Ya Tuhan... Semoga Abundantia melindungiku dari ujian ini..."
Ia memutar tubuhnya perlahan, lalu berteriak setengah putus asa, "Namaku Hiori! Hiori Ashley Mahardika!! Udah kukasih tahu TIGA KALI, Kek!! Mau aku kasih kartu nama sekalian!?"
Kakek itu terdiam sejenak, lalu tersenyum hangat seperti baru bertemu cucunya.
"Oohhh Hiori... Kenapa gak bilang dari tadi?"
Hiori menghela napas panjang, seakan paru-parunya baru saja resign dari tugasnya. "Aku kayaknya butuh lebih dari sekadar Essence Core buat bertahan di dunia ini…"
Lalu ia lanjut berjalan sambil bergumam, "Kalau aku ketemu batu bentuk ayam itu, semoga gak nanya namaku juga…"
Langkah demi langkah dipijak dengan penuh harap, daun-daun kering berderak di bawah sepatu Hiori saat ia terus menelusuri jalan setapak sesuai petunjuk sang kakek misterius. Suara hutan mulai meredup, cahaya mentari menyelinap di antara celah pepohonan yang mulai renggang, dan angin mulai membawa aroma ladang—tanda kehidupan di depan sana.
Beberapa menit kemudian, Hiori keluar dari lebatnya hutan… dan tepat di hadapannya—sebuah batu besar dengan ukiran rumit berbentuk ayam jago berdiri gagah di tengah rerumputan.
"…Huh?" Hiori berkedip dua kali, mendekat dengan langkah waspada. "Ternyata beneran berbentuk ayam…" gumamnya sambil menatap patung itu dari bawah sampai ke ujung jengger.
Patung itu memiliki sorotan mata tajam dan ekor menjulang dengan ukiran penuh detail. Seolah siap berkokok memanggil fajar—atau menyuruhmu bayar pajak. Di bawahnya tertulis, "Penjaga Winak, Sang Ayam Sakti. Jika kau melewati tanpa izin, bersiaplah diterjang takdir."
Hiori menyipitkan mata. "Ayam sakti? Serius? Ini desa atau taman bermain mitologi?"
Tapi sebelum sempat ia berkomentar lebih jauh, pandangannya teralihkan ke depan—hamparan luas mulai terbuka. Di kejauhan terlihat rumah-rumah kecil beratap jerami berdiri rapih, asap dapur membumbung ke langit biru, dan suara tawa anak-anak samar terdengar diiringi dentingan lonceng dari sapi-sapi desa.
"Jadi ini… Desa Winak." ucap Hiori pelan.
Ia berdiri sejenak, memandangi desa itu seperti penjelajah yang baru menemukan oasis di tengah padang ilusi. Sinar matahari sore menyinari desa dengan warna keemasan, seolah mengisyaratkan—di sinilah babak baru akan dimulai.
"…Yah, semoga di sini gak ada patung bebek sakti juga," ujarnya pelan sambil melangkah masuk melewati patung ayam yang kini terasa... menghakimi.
Hiori melangkah perlahan ke jalanan utama Desa Winak. Jalan bebatuan kecil berderak lembut di bawah sepatu botnya, sementara aroma rumput segar dan asap kayu bakar menguar di udara. Angin semilir membelai rambutnya, membawa tawa anak-anak yang bermain di pinggir jalan dan denting lembut lonceng yang tergantung di pintu-pintu rumah.
"Jadi ini Desa Winak, ya..." gumam Hiori, matanya menelusuri rumah-rumah kayu dengan pagar bunga liar dan burung-burung kecil yang berkerumun di atap. "Tenang... damai... nggak ada ledakan, nggak ada monster... Hah, rasanya seperti surga setelah kota penuh asap dan pabrik kemarin." Ia menghela napas panjang, menikmati momen langka tanpa kekacauan.
Tiba-tiba, seekor ayam kampung lewat begitu saja di depan kakinya, menatap tajam lalu berkokok dengan gaya seolah berkata: "Selamat datang, pendatang... semoga kau tak bikin onar."
Hiori mengangkat alis. "Bahkan ayam di sini punya karisma... bagus."
Ia lalu menepuk-nepuk saku mantelnya dan mengeluarkan kembali secarik kertas dari Gamiel. Tatapannya tajam, serius, dan penuh tekad. "Oke... Barnard Barnes. Katanya sih kau bisa bantu aku. Entah siapa kau, yang jelas semoga bukan kakek pelupa yang barusan."
Langkahnya mantap. Mata terjaga. Hidung mencium aroma roti panggang dari toko terdekat, tapi perut harus bersabar—misi lebih dulu. Waktunya mencari pria bernama Barnard Barnes... atau setidaknya seseorang yang tahu siapa dia.
"Semoga orang-orang di sini ramah dan nggak suka ngasih teka-teki berbentuk ayam lagi," gumamnya sambil mulai menyusuri desa, siap bertanya pada siapa pun yang terlihat seperti tidak sedang berbicara dengan kambing.
Hiori melangkah pelan di antara rumah-rumah penduduk desa Winak yang tersusun rapi, beratap jerami dan berhalaman kecil dipenuhi bunga liar. Angin membawa suara lonceng angin dari beranda, menyatu dengan suara riuh rendah aktivitas warga.
"Barnard Barnes..." gumamnya sambil menyapu pandangan ke sekeliling. "Namanya saja sudah terdengar seperti tokoh penting... Tapi penampilannya? Sama sekali nggak ada petunjuk..."
Ia terus berjalan melewati bengkel kayu, tempat seorang pandai besi memalu besi panas dengan irama pasti. Hiori sempat melirik, tapi tak melihat siapa pun yang cocok dengan bayangan di benaknya. Di depan, seorang ibu tua sedang menjemur kain, menatap Hiori sebentar lalu tersenyum ramah. Ia membalas anggukan, tetap fokus pada pencariannya.
"Kalau dia cukup penting untuk disebut oleh Gamiel, berarti dia pasti seseorang yang menonjol... Atau menyembunyikan dirinya dengan sangat baik." Suara Hiori pelan, nyaris tenggelam dalam semilir angin yang lewat.
Kakinya berhenti di sebuah persimpangan kecil. Di sana berdiri sebuah rumah tua berdinding kayu tua menghitam, terlihat berbeda dari rumah lainnya. Tak ada tanaman hias, hanya patung burung elang kecil terpasang di atas pintu, dan kesan sepi yang menyelubungi.
Hiori menyipitkan mata. "Entah kenapa... tempat itu terasa berbeda."
Hiori berdiri terpaku sejenak di ambang pintu bengkel itu. Udara di dalam ruangan terasa hangat dan dipenuhi aroma besi terbakar yang samar, bercampur bau kayu tua. Rak-rak di sepanjang dinding dipenuhi berbagai alat tempa, bilah pedang, dan potongan logam aneh yang seolah menyimpan sejarahnya masing-masing.
Pandangan Hiori langsung tertumbuk pada papan tua yang tergantung miring di atas meja kerja: “Pandai Besi Barnard”. Ia mengangkat alis.
“Apaan ini… Nama segede gitu ditulis di kayu lapuk,” gumamnya, sebelum akhirnya melangkah masuk. “Permisi…”
Seorang pria tua dengan rambut abu-abu panjang yang diikat ke belakang muncul dari balik tirai kain, tangannya masih membawa palu besar. Sorot matanya tajam, namun ada ketenangan aneh terpancar darinya.
“Oh, ya… Selamat datang di toko ku. Ada yang bisa kubantu?” ucapnya ramah namun tanpa senyum.
Hiori terdiam sejenak, sedikit terpukau oleh aura pria tua itu. “Uh… Tidak. Maksudku, aku ke sini karena dikirim guruku. Dia bilang k—”
Sebelum kalimat itu selesai, pria tua itu mengangkat tangan, memotongnya dengan cepat.
“Maaf, tapi aku menolak. Aku sudah lama pensiun.”
Hiori menghela napas berat. “Kau bahkan belum mendengarkanku…”
Ia menatap Barnard dengan tatapan tajam. Atmosfer seolah mendadak mengencang.
Barnard menurunkan palunya dan menatap api kecil di tungkunya, seperti tenggelam dalam masa lalu. “Saat itu… ketika Perang Surgawi terjadi…”
Hiori menyipitkan mata. “Perang Surgawi? Maksudmu… saat para Juru Selamat bertarung melawan The Great Darkness?”
Barnard mengangguk pelan. “Benar. Itu sudah lama… Dunia hampir lenyap, dan aku... aku menjadi penempa terhebat pada masanya. Bukan karena aku ingin, tapi karena tak ada pilihan lain.”
Ia berbalik menghadap Hiori, wajahnya kini tampak jauh lebih tua, seolah memikul beban masa lalu yang tak terlihat.
“Aku menempa senjata bagi para legenda… Tapi harga dari semua itu bukan hanya tubuhku yang rusak, tapi juga hatiku yang hancur. Dunia menyebut kami pahlawan, tapi yang kami tahu hanyalah kehilangan.”
Hiori menggenggam erat mantel miliknya, lalu melangkah satu tapak maju.
“Kalau begitu, bantu aku. Bukan untuk menjadi legenda. Tapi untuk mencegah kegelapan berikutnya datang.”
Barnard memandangnya lama, sebelum akhirnya mendesah pelan. Api di tungku memercik, seakan menjawab keraguan dalam hatinya.
“…Kau punya mata seorang pejuang. Baiklah, Hiori Ashley Mahardika. Mari kita lihat... apa warisan masa lalu ini masih bisa berguna.”